Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Syariat Islam memiliki keistimewaan memberikan kemudahan dan keringanan kepada manusia, dengan memperhatikan keadaan dan sisi-sisi kehidupannya. Allâh subhanahu wata’alaa berfirman:
هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS. Al-Hajj/22: 78).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
Sesungguhnya Agama Islam itu mudah dan tidaklah seorang berlebihan dalam agama kecuali akan kalah (HR. Al-Bukhari).
Kemudahan dan keringanan menjadi asas dan dasar dalam fikih Islam, sehingga tampak banyak kemudahan yang diberikan kepada kaum muslimin dalam banyak bentuk ibadah dan muamalatnya. Di antara kemudahan dan keringanan tersebut adalah pensyariatan tayamum sebagai bentuk kemudahan dalam bersuci ketika tidak didapatkan air atau tidak mampu menggunakannya karena satu alasan syar’i.
Hakikat Tayamum
Tayamum dalam bahasa Arab diartikan sebagai al-qosdu (القَصْدُ) yang berarti maksud. Imam Ibnu Fâris rahimahullah berkata: Huruf Ya’ dan Mim adalah kata yang menunjukkan bermaksud pada sesuatu dan menyengaja (lihat Mu’jam Maqâyis Lughah 2/152). Sebagai contoh adalah firman Allâh subhanahu wata’alaa:
وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ
Dan janganlah kamu sengaja memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, (QS. Al-Baqarah/2: 267)
Sedangkan secara istilah dalam syari’at, para ulama berbeda dalam mendefinisikannya dalam beberapa definisi, di antaranya adalah sebuah peribadatan kepada Allâh berupa mengusap wajah dan kedua tangan dengan menggunakan sha’îd yang bersih (Syarhul Mumti’ ‘Ala Zâdil Mustaqni’ 1/231). Juga didefinisikan dengan menggunakan sha’îd yang bersih untuk mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan syarat khusus dengan cara yang khusus juga (Ahkâm At-Tayammum hlm 28).
Kata sha’îd dalam bahasa Arab adalah seluruh permukaan bumi yang dapat digunakan untuk bertayamum baik yang terdapat tanah di atasnya ataupun tidak.
Pensyariatan Tayamum
Tayamum disyari’atkan dalam Islam berdasarkan dalil Al-Qur’ân, As-Sunnah dan Ijmâ’ (konsensus) kaum muslimin (Lihat Al-Minhâj Syarh Shahih Muslim 4/ 279). Adapun dalil dari Al-Qur’ân adalah firman Allâh subhanahu wata’alaa,
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. Al-Mâidah/5: 6).
Adapun dalil dari As-Sunnah cukup banyak. Di antaranya adalah hadis Imrân bin Hushain Al-Khuzâ’i yang panjang dan ada di sana pernyataan:
أنَّ النَبِيَّ صلى الله عليه وسلم لما انفتَلَ من صلاته إذا برجلٍ معتزلٍ لم يصلِّ مع القومِ، قالَ: ما منَعَكَ يا فُلانُ أنْ تُصَلي مع القومِ؟ قالَ: أصابَتْني جَنابةٌ ولا ماءَ، قالَ:عليكَ بالصَّعيد؛ فإنه يكفيكَ
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika selesai dari shalatnya, ternyata menemui seorang yang menyendiri tidak shalat bersama orang-orang. Beliau bersabda: Apa yang mencegah kamu wahai Fulan untuk shalat bersama orang-orang? Dia menjawab: Aku terkena junub dan tidak ada air. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Hendaknya kamu menggunakan sha’îd (tayamum), karena itu mencukupkanmu. (HR. Al-Bukhari no. 344). Demikian juga sabda Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam dari sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan:
وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ
“Dijadikan bagi kami (ummat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam) permukaan bumi sebagai thahur/sesuatu yang digunakan untuk bersuci (tayamum) jika kami tidak menjumpai air”. (HR. Muslim no. 522).
Umat Islam telah menyepakati bolehnya menggunakan tayamum dan pensyariatannya sebagaimana dinukil para ulama, di antaranya Ibnu Al-Mundzir rahimahullah yang menyatakan: Mereka berijmâ’ bahwa tayamum dengan tanah yang berdebu diperbolehkan (Al-Ijmâ’ hlm 36). Juga imam An-Nawawi rahimahullah berkata: tayamum disyariatkan dengan Al-Qur`an, as-sunnah, dan ijma’ umat ini (Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab 2/165).
Hikmah Pensyariatan Tayamum (Disarikan dari kitab Ahkâm At-Tayammum, hlm 47-48)
Allâh subhanahu wata’alaa menyampaikan sebagian hikmah dan tujuan disyariatkannya tayamum dalam firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Mâidah/5: 6)
Dalam ayat yang mulia ini Allâh subhanahu wata’alaa sebutkan tiga hikmah disyariatkannya tayamum, yaitu:
- Menghilangkan kesulitan.
- Ingin membersihkan dan mensucikan diri.
- Menyempurnakan nikmatnya.
Namun para ulama menyampaikan hikmah dan tujuan disyari’atkannya tayamum lainnya, di antaranya adalah:
- Allâh subhanahu wata’alaa mengetahui jiwa memiliki kemalasan dan kecenderungan untuk tidak taat, maka mensyariatkan tayamum ketika tidak ada air, agar jangan terbiasa meninggalkan ibadah sehingga sulit untuk mengembalikannya ketika ada air.
- Agar manusia merasakan kematiannya dengan tidak ada air dan menggunakan debu yang menjadi kuburannya, sehingga dapat menghilangkan kemalasan dan menjadikan mudah semua amalan yang menyusahkannya.
- Mewujudkan pengertian taat dan tunduk kepada perintah Allâh subhanahu wata’alaa dan terikat dengan syariatnya dengan merealisasikan dan melaksanakan semua perintah Allâh subhanahu wata’alaa.
- Di antara hikmah menjadikan tayamum dengan debu adalah karena mudah dan selalu ada. Debu hampir ada di setiap tempat. Walaupun debu ada di mana-mana tapi syariat hanya memerintahkan untuk mengusap wajah dan telapak tangan saja untuk menghilangkan kesulitan atas para hamba.
- Tayamum dengan debu memberikan perasaan hina dihadapan Allâh subhanahu wata’alaa dan rendah hati serta merasa sangat membutuhkan Allâh subhanahu wata’alaa.
- Tujuan dari tayamum adalah keringanan dan kemudahan.
Dengan demikian jelas banyak sekali hikmah dari pensyariatan tayamum ini.
Kapan Disyariatkan Bertayamum?
Disyariatkan bertayamum apabila tidak bisa menggunakan air untuk anggota yang wajib disucikan atau sebagiannya karena tidak adanya air atau takut adanya mudarat dengan menggunakannya (Ghaayatul Muqtashidin Syarhu Minhaaj As-Saalikin 1/134-135).
Tidak ada air bisa terjadi pada dua keadaan, yang pertama tidak ada air sama sekali dan kedua memiliki air sedikit yang tidak cukup untuk digunakan bersuci. Adapun keadaan tidak ada air sama sekali maka bertayamum dengan dasar firman Allâh subhanahu wata’alaa:
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. Al-Mâidah/5: 6). Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama (lihat Badaai' Ash-Shanaa
i’ 1/315, Nihaayatul Muhtaaj 1/265 dan Al-Kaafi karya Ibnu Qudamah 1/97).
Sedangkan keadaan kedua dengan adanya air tapi hanya mencukupi mencuci sebagian anggota wudhu atau mandi. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat (lihat Al-Mabsuth 1/113, Badaai' Ash-Shanaa
i’ 1/327, Nihaayatul Muhtaaj 1/272, Al-Majmu’ 2/214 dan Al-Mughni 1/314-315):
- Wajib menggunakan air tersebut kemudian bertayamum pada anggota yang belum terkena air. Inilah pendapat mazhab Hambali dan pendapat imam asy-Syâfi’i t dalam Al-Qaul Jadîd. Dasar argumentasi pendapat ini adalah;
- Firman Allâh subhanahu wata’alaa dalam surat Al-Mâidah ayat 6 dari dua sisi:
Pertama: Allâh subhanahu wata’alaa mensyaratkan tidak ada air untuk bertayamum, sehingga yang memiliki air walaupun sedikit termasuk yang mendapati air. (lihat Al-Mughni 1/315).
Kedua: kata (ﱩ) dalam ayat bersifat umum kepada semua yang disebut sebagai air sehingga menuntut orang yang mendapati air sedikit atau banyak untuk tidak melakukan tayamum.
- Sabda Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ وَضُوءُ لِلْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ، وَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ هُوَ خَيْرٌ
Sesungguhnya permukaan bumi (debu) yang bersih adalah alat berwudhu seorang muslim walaupun dia tidak mendapati air sepuluh tahun dan apabila telah mendapatkan air maka hendaknya membasuh kulitnya, karena itu lebih baik. (HR. Ahmad dan Abu Dawud no. 332 dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Albâni rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalîl 1/181)
- Qiyas kepada badan yang sebagiannya sehat dan sebagiannya terluka. Mukallaf apabila mendapatkan air yang dapat digunakan untuk sebagian jasadnya maka harus menggunakannya sebagaimana bila mayoritas badannya sehat dan sebagian lainnya terluka.
- Bertayamum dan tidak harus menggunakan air. Inilah pendapat mazhab Mâlikiyah, Hanafiyah, dan salah satu dari pendapat imam Asy-Syâfi’i rahimahullah. Pendapat ini dirajihkan oleh Imam Al-Muzani rahimahullah (Mukhtashar Al-Muzani hlm 16) dan As-Sa’di rahimahullah (Al-Mukhtarât Al-Jaliyah hlm 27).
dasar pendapat ini adalah:
- Firman Allâh subhanahu wata’alaa:
فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah. (QS. Al-Maidah/5: 6). Air yang dimaksud di sini adalah air yang mencukupi untuk mandi atau wudhu`, hal itu karena kemutlakan air dialihkan kepada yang sudah umum pengertiannya. Yang sudah dipahami, umumnya air yang dimaksud dalam wudhu dan mandi adalah air yang mencukupkan untuk seluruh anggota tubuh yang harus dicuci dan diusap. Oleh karena itu apabila tidak mendapatkan air yang mencukupi untuk thaharah sama dengan tidak mendapati air, sehingga hukumnya kembali kepada tayamum.
- Sabda Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ وَضُوءُ لِلْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ، وَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ هُوَ خَيْرٌ
Sesungguhnya permukaan bumi (debu) yang bersih adalah alat berwudhu seorang muslim walaupun dia tidak mendapati air sepuluh tahun dan apabila telah mendapatkan air maka hendaknya membasuh kulitnya, karena itu lebih baik. (HR. Ahmad dan Abu Daud no. 332 dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil 1/181)
Hadis ini menunjukkan apabila mendapatkan air yang cukup untuk membasahi kulitnya maka gunakanlah dan apabila tidak cukup maka jangan menggunakannya, karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan hendaknya membasuh sebagian kulitnya.
- Tayamum disyariatkan sebagai pengganti wudhu dan mandi dan menyatukan pengganti dengan yang digantikan tidak wajib. Allâh subhanahu wata’alaa memerintahkan kita untuk berwudhu dan mandi dan mengalihkannya kepada tayamum ketika tidak bisa menggunakan air dan tidak memerintahkan untuk menggabung keduanya. Sehingga yang wajib adalah satu dari dua hal; air atau debu (permukaan bumi). Apabila air tidak mencukupkan dari tayamum maka ia secara hukum dianggap tidak ada, karena yang diharuskan adalah adanya kecukupan untuk bersuci.
- Satu hadas tidak mengharuskan pensucian anggota tubuh untuk shalat dua kali. Juga karena diwajibkan adanya pengganti, maka tidak adanya sebagian seperti tidak ada seluruhnya seperti kafaarat Zhihaar.
pendapat kedua inilah yang rajih karena mencukupkan dengan tayamum sangat meringankan dan bisa menghilangkan kesulitan dari mukallaf, khususnya tayamum sudah sah menggantikan kedudukan thaharah dengan air. Wallâhu a’lam.
Bertayamum juga disyariatkan ketika tidak mampu menggunakan air karena takut mudarat yang muncul dari penggunaan air, seperti orang yang sakit atau dalam kondisi sangat dingin sekali tanpa ada pemanas air atau takut kehausan bila menggunakan air yang ada.
Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah menyebutkan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayamum, yaitu:
- Jika tidak ada air, berdasarkan firman Allâh subhanahu wata’alaa:
فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah. (QS. Al-Maidah/5: 6).
Hal ini berlaku baik dalam keadaan mukim atau safar (dalam perjalanan) dan telah mencari air namun tidak mendapatkannya.
- Dia membawa air yang dibutuhkan untuk minum dan memasak, seandainya ia gunakan untuk bersuci tentu akan merusak kebutuhannya, sehingga khawatir kehausan pada dirinya atau kehausan pada orang lain dari manusia atau hewan ternak.
- Khawatir jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau semakin lama sembuh dari sakit. Berdasarkan firman Allâh subhanahu wata’alaa:
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih);”. (QS. Al-Maidah/5: 6).
- Tidak mampu menggunakan air karena sakit tidak mampu bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya orang yang mampu membantu untuk berwudhu dengan kekhawatiran habisnya waktu shalat.
- Khawatir kedinginan jika menggunakan air dan tidak adanya yang dapat menghangatkan air tersebut, maka bertayamum dan shalat, berdasarkan firman Allâh subhanahu wata’alaa:
وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ
Dan janganlah kamu membunuh dirimu (QS. An-Nisaa’/4: 29) maka dalam kondisi-kondisi ini ia bertayamum dan melakukan shalat.
Demikian beberapa masalah tentang tayamum semoga bermanfaat.