Bersiwak ketika Berwudhu dan Berpuasa

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Bersiwak atau membersihkan mulut dengan menggosok gigi dengan siwak atau sejenisnya adalah perkara yang sudah umum ada di masyarakat. Siwak adalah nama untuk kayu yang dipakai untuk gosok gigi dari tumbuhan Arak dan selainnya. Siwak disebut juga dengan istilah al-Miswak. Kata (السِوَاك) dalam bahasa Arab juga digunakan untuk perbuatan yang menunjukkan perbuatan menggosok gigi dengan al-Miswak untuk membersihkan gigi, lisan, dan gusi. 

Ibnu Abdilbar rahimahullah dalam al-Istidzkar 3/272 menyatakan: siwak orang dulu adalah kayu arak dan al-Basyam dan semua yang bisa membersihkan gigi tanpa menyakitinya serta memberikan wangi pada mulut, boleh dijadikan alat bersiwak.

Syeikh Shalih al-Fauzan rahimahullah dalam Tas-hil al-Ilmam syarh Bulughul Maram (1/108) menyatakan: siwak adalah semua kayu yang lembut dan tidak melukai dan jenis terbaiknya adalah kayu al-Arak. Seandainya bersiwak dengan selainnya seperti kayu kurma atau selainnya maka tidak mengapa. Semua yang membersihkan mulut dan menghilangkan bau mulut dan tidak meninggalkan bekas yang buruk, maka disyariatkan digunakan untuk bersiwak baik dari kayu atau selainnya. Namun yang terbaik adalah kayu al-Arak karena lembut dan lebih membersihkan mulut ditambah memiliki bau dan rasa yang enak sehingga dia adalah siwak terbaik.

Di masyarakat yang terkenal dan umum dipakai adalah sikat dengan pasta gigi dan jarang dikenal penggunaan kayu siwak di masa ini.

Hukum Siwak

Para ulama berselisih tentang hukum bersiwak apakah wajib atau tidak dalam dua pendapat:

Pendapat pertama: Tidak wajib dan hanya sunah. Inilah pendapat mayoritas ulama, bahkan sebagiannya mengklaim adanya ijma’, seperti dalam kitab Tharhu at-Tatsrib 2/63 dan al-Mubdi’ karya Ibnu Muflih 1/98-99.

Pendapat kedua: Wajib bersiwak. Ini adalah pendapat yang dikisahkan dari Dawud azh-Zhahiri rahimahullah dan Ishaq bin Rahuyah rahimahullah, karena adanya perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: Penukilan dari Ishaq tidak dikenal dan tidak sah (lihat al-Majmu’ 1/271). Demikian juga masih diragukan penisbatan pendapat ini kepada Dawud. Di antara yang menjadi indikator ketidakbenaran nisbat ini adalah Ibnu Hazm azh-Zhahiri rahimahullah berpendapat siwak hukumnya sunah. (lihat al-Muhalla 2/218)

Waktu Pelaksanaan Bersiwak dalam Wudhu’

Hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menentukan waktu dan kapan bersiwak dalam berwudhu, oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat:

Pendapat pertama: Dilaksanakan sebelum memulai wudhu, sehingga bersiwak dahulu kemudian berwudhu. Inilah pendapat sejumlah ulama mazhab al-Hanafiyah, al-Malikiyah, dan asy-Syafi’iyah (lihat Bada’i ash-Shanâ’i 1/190 dan Hâsyiyah al-Adawi 1/183). Tampaknya pendapat ini mengambil riwayat yang berbunyi: (عند كل وضوء) 

Pendapat kedua: Bersiwak dilakukan di tengah-tengah wudhu ketika berkumur-kumur, apabila sudah sampai kumur-kumur maka dibarengi dengan siwak. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. (lihat ‘Umdatulqâri 5/263, Nihâyatul Muhtâj 1/178 dan kasyâf al-Qona’ 1/93)

Mereka berargumen dengan riwayat (مع كل وضوء), karena menunjukan kebersamaan dan kebersamaan ada unsur masuk ke dalam amalannya.

Asy-Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan rahimahullah merojihkan pendapat kedua ini dengan berkata: “Hadis ini menunjukkan dengan tegas bahwa bersiwak adalah sunah pada setiap akan berwudhu. Hal itu dilakukan ketika sedang berkumur-kumur karena hal itu akan membantu mengharumkan dan membersihkan mulut.” (Al-Mulakhash al-Fiqhiy, hal. 30)

Sedangkan Syeikh Abdullah al-Fauzan rahimahullah dalam Minhatul ‘Alam syarh Bulughul Maram 1/141 berkata: Kedua pendapat ini memiliki dasar argumentasi yang kuat, namun yang rojih dari sisi penelitian sikap dan contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka siwak dilakukan sebelum berwudhu karena tidak ada satu pun riwayat beliau bersiwak ketika berkumur-kumur dalam wudhu. Demikian juga ada hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang menginap di rumah bibinya Maimunah radhiyallahu ‘anha dan menceritakan shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ada lafaz: (فَاسْتَيْقَظَ وَتَسَوَّكَ وَتَوَضَّأَ). Ini salah satu riwayat Imam Muslim. Wallahu a’lam.

Waktu-waktu yang Dianjurkan Bersiwak

Bersiwak dianjurkan pada kaum muslimin di setiap saat, agar selalu dalam keadaan bersih, namun lebih dianjurkan lagi pada waktu-waktu tertentu.

Asy-Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan berkata: “Bersiwak disunahkan di setiap saat, bahkan sekalipun yang berpuasa di sepanjang harinya, demikianlah pendapat yang benar. Dan menjadi sunah muakadah pada waktu tertentu.” (Al-Mulakhash al-Fiqhiy, hal. 30)

Adapun waktu-waktu yang disunahkan secara tegas untuk bersiwak di antaranya:

1) Setiap akan melakukan shalat.

Ini didasari riwayat hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bersabda: 

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ  

Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat.” (HR. Bukhari (2/374/887), Muslim (1/220/252), dan Tirmidzi (1/18/22) lihat Shahihul jami’ no. hadis 5315)

Sebagian Ulama menyampaikan hikmah disunahkannya bersiwak ketika akan shalat, di antaranya:

Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata: “Rahasia permasalahan (bersiwak setiap akan shalat) ini adalah:

a). Perintah supaya beramal sebaik mungkin tatkala beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

b). Ada yang menyatakan bahwa permasalahan ini berhubungan dengan para malaikat, sebab malaikat merasa terganggu dengan bau yang tidak sedap (yang berasal dari gigi dan mulut). 

Imam ash-Shan’ani rahimahullah memberikan jawaban dengan menyatakan: “Rahasia permasalahan ini mencakup dua perkara yang telah disebutkan, sebagaimana hadis riwayat Imam Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu:

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ 

Barangsiapa yang memakan bawang putih, bawang merah atau jengkol, maka sekali-kali jangan mendekati masjid kami, karena para malaikat terganggu dengan apa-apa yang manusia terganggu dengannya.” (Lihat Taisîrul ‘Allâm, hal. 40)

2) Setiap akan berwudhu.

Ini didasarkan pada hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bersabda: 

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كلِّ وُضُوءٍ 

Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudhu.” (HR. Malik (1/66) Al Baihaqi (1/35), Ibnu Huzaimah (1/73) Dishahihkan Syaikh al-Albany di Shahihil Jami’ (5317), shahih Targhib (201), Al Irwa’ (1/109).

Asy-Syaikh DR. Shalih al-Fauzan berkata: “Hadis ini menunjukkan dengan tegas bahwa bersiwak adalah sunah pada setiap akan berwudhu. Hal itu dilakukan ketika sedang berkumur-kumur karena hal itu akan membantu mengharumkan dan membersihkan mulut.” (Al-Mulakhash al-Fiqhiy, hal. 30)

3) Ketika hendak membaca al-Qur’an.

Hal ini didasari oleh hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: 

أَمَرَنَا بِالسِّوَاكِ  فَقَالَ إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا قَامَ يُصَلِّي أَتَاهُ الْمَلَكُ فَقَامَ خَلْفَهُ يَسْتَمِعُ الْقُرْآنَ وَيَدْنُو، فَلاَ يَزَالُ يَسْتَمِعُ وَيَدْنُو حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ فَلاَ يَقْرَأُ أَيَةً إِلاَّ كَانَتْ فِيْ جَوْفِ الْمَلَكِ

Rasulullah memerintahkan kami bersiwak, sesungguhnya seorang hamba apabila berdiri shalat, malaikat mendatanginya kemudian berdiri di belakangnya mendengar bacaan al-Qur’an dan ia mendekat. Maka ia terus mendengar dan mendekat sampai ia meletakkan mulutnya di atas mulut hamba itu, sehingga tidaklah dia membaca satu ayatpun kecuali berada di rongganya malaikat” (HR. al-Baihaqy dan ad-Dhiya’. Lihat Silsilah al-Ahadis as-Shahihah (1213)).

4) Setiap bangun tidur.

Ini berdasarkan hadis Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ، يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاك

Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun malam, beliau menggosok (membersihkan) mulutnya dengan siwak.” (HR. Bukhari no.245 dan Muslim no.46)

Asy-Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan berkata: “Siwak juga menjadi sunah muakadah ketika seseorang bangun dari tidur di malam atau siang hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika bangun tidur di malam hari, beliau menggosok mulutnya dengan siwak. Hal itu dikarenakan bersamaan dengan proses tidur, maka berubahlah bau mulut, yang disebabkan peningkatan gas dalam lambung.” (Al-Mulakhash al-Fiqhiy, hal. 30)

Hikmah disunahkannya bersiwak ketika bangun tidur.

Asy-Syaikh Abdullah Alubassam rahimahullah berkata: “Termasuk tanda kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kebersihan dan ketidaksukaannya terhadap bau tidak enak, tatkala bangun dari tidur malam yang panjang, yang mana saat itu dimungkinkan bau mulut sudah berubah, maka beliau menggosok giginya dengan siwak untuk menghilangkan bau tidak sedap, dan untuk menambah semangat setelah bangun tidur, karena termasuk kelebihan siwak adalah menambah daya ingat dan semangat.” (Taisîrul ‘Allâm, hal.41)

5) Ketika ada perubahan bau mulut. 

Ini diambil dari riwayat Imam Muslim dari Jabir bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ 

Barang siapa yang memakan bawang putih, bawang merah atau jengkol, maka sekali-kali jangan mendekati masjid kami, karena para malaikat terganggu dengan apa-apa yang manusia terganggu dengannya.”

Ditambah satu keadaan yang juga disampaikan para ulama yaitu: 

6). Setiap akan masuk rumah.

Hal ini didasarkan pada hadis Miqdam bin Syuraih dari ayahnya (Syuraih), ia berkata: 

سَأَلْتُ عَائِشَةَ، قُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ؟ قَالَتْ: «بِالسِّوَاكِ»

“Saya bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha: Dengan apa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai ketika masuk ke rumahnya? Aisyah menjawab: “Dengan siwak. (HR. Muslim dalam kitab Thaharah)

Bersiwak ketika Berpuasa

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dalam dua pendapat: 

Pendapat pertama: Siwak disyariatkan sebelum tergeincir matahari dan setelahnya. Ini adalah mazhab banyak para sahabat di antaranya Umar bin al-Khathab (lihat Sunan al-Baihaqi 4/272), Mu’adz bin Jabal (lihat Mu’jam al-Kabîr karya ath-Thabrani hlm 2071 no. 132), Ibnu Umar (sunan al-Baihaqi 5/213), ‘Aisyah, dan Ibnu Abbas. Ini juga mazhab banyak ulama Tabi’in dan imam-imam besar seperti ats-Tsauri rahimahullah, al-Auza’i rahimahullah, Ibnu Ulaiyah rahimahullah, Ibrohim an-Nakha’i rahimahullah, Muhammad bin Sirin rahimahullah, Urwah bin az-Zubair rahimahullah (lihat at-Tamhîd 19/58 dan al-Mughni 1/139). Juga mazhab Abu Hanifah (lihat al-Mabsûth 3/99), satu riwayat dalam mazhab Ahmad bin Hambal (lihat al-Inshâf 1/117-118 dan syarah as-Zarkasyi 1/166). Ini juga menjadi pendapat banyak dari ahli fikih asy-Syafi’iyah seperti al-‘Iz bin Abdissalam rahimahullah (at-Talkhish al-Habîr 1/62), dan an-Nawawi rahimahullah (al-Majmû’ 1/276) serta selain keduanya. Bahkan an-Nawawi rahimahullah menyatakan, inilah mazhab mayoritas ulama. 

Dasar argumentasi pendapat ini: 

  1. Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كلِّ وُضُوءٍ 

Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudhu.” (HR. Malik (1/66), al-Baihaqi (1/35), Ibnu Huzaimah (1/73), dishahihkan Syaikh al-Albany di Shahihil Jami’ (5317), shahihut Targhib (201), al-Irwa’ (1/109).

Dalam hadis ini ada lafaz: (مَعَ كلِّ وُضُوءٍ), sedangkan kata (كُلِّ) dalam bahasa Arab menunjukkan keumuman, sehingga mencakup semua wudhu baik sebelum tergelincir matahari atau sesudahnya dan juga bagi yang berpuasa atau tidak berpuasa. 

  1. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مِنْ خَيْرِ خِصَالِ الصَّائِمِ السِّوَاكُ

Di antara sebaik-baik perbuatan orang berpuasa adalah bersiwak. (HR. Ibnu Majah no. 1677 dan dihukumi sebagai hadis lemah oleh al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth karena adanya Mujalad bin Sa’id)

  1. Hadis ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu yang berkata:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَا أُحْصِي يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak terhitung banyaknya bersiwak dalam keadaan beliau berpuasa.” (HR. Abu Dawud ath-Thayalisi dalam al-Musnad no. 1144, Abdurrazaq dalam al-Mushannaf no. 7479 dan Ahmad dalam al-Musnad 3/445, Abu Dawûd no. 2364 dan at-Tirmidzi no. 725 dan dihukumi sebagai hadis lemah oleh al-Albani dalam Dha’if Sunan Abi Dawûd)

Pendapat kedua: Siwak tidak disyariatkan setelah tergelincir matahari. Inilah pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh (lihat Sunan al-Baihaqi 4/274), ‘Atha’, dan Mujahid (lihat at-Tamhîd 19/58 dan al-Mughni 1/138). Ini juga menjadi pendapat Ishaq bin Ibrahim bin Rahuyah, Abu Tsaur, dan mazhab Syafi’i (lihat al-Umm 2/101 dan Mukhtashar al-Muzani 2/24), dan satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal (lihat al-Mughni 1/138).

Argumentasi pendapat ini adalah:

  1. Hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

إِذَا صُمْتُمْ فَاسْتَاكُوا بِالْغَدَاةِ وَلَا تَسْتَاكُوا بِالْعَشِيِّ

“Apabila kamu berpuasa, maka bersiwaklah di pagi hari dan jangan bersiwak di siang hari.” (HR. al-Bazaar no. 2137, ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir no. 3696, dan ad-Daraquthni 2/204, dan hadis ini dihukumi sebagai hadis lemah oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 67)

  1. Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

والذي نَفْسُ محَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخَلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عندَ الله من ريحِ المِسْكِ

“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari wangi minyak misik. (Muttafaqun ‘alaihi)

Mereka menyatakan bahwa bau mulut orang yang puasa khususnya setelah tergelincir matahari akan muncul dari mulutnya. Tentunya siwak akan mempengaruhi bau mulut tersebut, bisa jadi menghilangkan seluruhnya atau sebagian bau tersebut. Padahal bau tersebut dicintai Allah ta’alaa, sebab itu adalah bekas yang muncul dari sebuah ibadah sehingga tidak boleh dihilangkan. 

  1. Qiyas kepada darah orang yang mati syahid karena sama-sama bekas yang muncul dari sebuah ibadah. Apabila darah orang yang mati syahid tidak dihilangkan, maka demikian juga bau mulut orang yang berpuasa tidak dihilangkan dengan bersiwak.

Pendapat yang rojih:

Pendapat yang pertama lebih kuat dari pendapat yang kedua, karena kuatnya keumuman anjuran bersiwak dan tidak adanya dalil jelas dan sahih yang melarangnya. Sedangkan berdalil dengan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, maka dijawab dengan beberapa sisi:

  1. Kata (الخَلوْف) adalah bau mulut yang muncul dari lambung ketika kosong dari makanan dan bukan bau dari mulut semata.
  2. Seandainya dianggap benar itu adalah bau dari mulut dan siwak akan akan menghilangkan seluruhnya atau sebagiannnya, maka pernyataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut bukan untuk melarang menghilangkan bau tersebut, tapi hanya isyarat semua yang muncul dari seorang dengan sebab ibadah dan ketaatan kepada Allah ta’alaa maka itu dicintai, walaupun dibenci oleh manusia. Hal ini tidak mencegah untuk dihilangkan apabila ada sarana untuk menghilangkannya tanpa merusak ibadah tersebut.
  3. Adanya tambahan kata hari Kiamat pada sebagian riwayat hadis, seperti yang ada dalam sahih Muslim no. 1151 dengan redaksi:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ، يَوْمَ الْقِيَامَةِ، مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih baik di sisi Allah pada hari Kiamat dari wangi minyak misik.

Tambahan ini menunjukkan hal itu adanya di hari Kiamat sehingga tidak ada dalil dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas untuk melarang bersiwak di siang hari pada orang yang berpuasa.

Dengan demikian jelaslah kebolehan menggosok gigi atau bersiwak pada siang hari bagi orang yang berpuasa.

Wabillahittaufiq.

Leave a Reply