Yang Harus Dilakukan dalam Tayamum

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Tayamum disyariatkan dalam Islam sebagai pengganti wudhu dan mandi wajib dengan syarat dan ketentuannya. Syariat menetapkan hal-hal yang harus dilakukan dalam tayamum sehingga sempurna dan sah amalan tersebut. Para ulama fikih menjelaskan ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu mengusap wajah dan tangan, tartîb (berurutan), dan al-muwalâh (lihat al-Fiqhul Muyassar 1/131).

Ukuran Tangan yang Diusap

Para ulama fikih sepakat mengusap wajah dan kedua tangan adalah perkara yang wajib dilakukan dalam tayamum (furûdh at-tayamum), sehingga tidak sah tayamum kecuali dengan mengusap keduanya baik tayamum dari hadas kecil ataupun besar (lihat al-Umm 2/103).

Ijma’ ini dinukilkan oleh beberapa ulama di antaranya imam An-Nawawi rahimahullah (lihat Syarh Shahih Muslim 4/279) dan ibnu Qudâmah rahimahullah (lihat al-Mughni 1/133). Para ulama ini sepakat berdasarkan firman Allâh subhanahu wata’alaa:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. al-Mâidah/5: 6).

Juga berdalil dengan hadis Amâr bin Yâsir radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi: 

بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ ، فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ ، فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan kanannya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan kirinya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. Bukhâri no. 347, Muslim no. 368).

Namun mereka berbeda pendapat tentang ukuran wajib dalam mengusap kedua tangan dalam tiga pendapat:

  1. Diwajibkan mengusap kedua tangan sampai siku. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah dan satu pendapat dalam mazhab Mâlikiyah dan dalam mazhab Syâfi’iyah termasuk pendapat imam asy-Syâfi’i dalam al-Qaulul Jadid (lihat al-Mabsûth 1/107, al-Mudawwanah 1/42, al-Umm 2/102-103 dan al-Majmû’ 2/168).
  2. Diwajibkan hanya mengusap kedua telapak tangan saja. Ini adalah pendapat imam asy-Syâfi’i dalam al-Qaulul Qadim dan mazhab Hanâbilah (lihat al-Hâwi 2/900, al-Furû’ 1/298).
  3. Yang diwajibkan hanya mengusap telapak tangan saja tapi disunnahkan sampai siku. Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Mâlikiyah dan dirajihkan Abu Ya’la rahimahullah dari ulama Hanâbilah (lihat Mawâhibul Jaliil 1/522, al-Furû’ 1/298 dan Syarh Muntahâ al-Irâdat 1/200).

Sebab perbedaan pendapat para ulama ini kembali kepada dua perkara:

  1. Kata tangan (اليَد) dalam bahasa Arab memiliki tiga pengertian; pertama untuk pengertian telapak tangan saja, kedua untuk pengertian telapak tangan dan hasta, serta ketiga untuk pengertian telapak tangan, hasta, dan lengan bagian atas.
  2. Perbedaan hadis-hadis yang ada tentang tata cara tayamum (Bidâyatul Mujtahidîn 1/136).

Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua dengan dasar:

  1. Pengertian tangan dalam firman Allâh subhanahu wata’alaa:

فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ

sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. al-Mâidah/5: 6) adalah telapak tangan, karena Allâh subhanahu wata’alaa menyebutnya secara mutlak. Biasanya pengertiannya adalah telapak tangan seperti dalam ayat hukuman pencuri (lihat al-Mughni 1/322).

Ditambah dengan penjelasan Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Amâr bin Yâsir radhiyallahu ‘anhu dalam sabda beliau: 

إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا . فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. Bukhari no. 347, Muslim no. 368).

  1. Hadis Amâr bin Yâsir ini adalah hadis yang sahih dan jelas menunjukkan kewajiban mencukupkan dengan mengusap wajah dan kedua telapak tangan saja (lihat al-Fiqhul Muyassar 1/132).
  2. Tidak ada hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan beliau mengusap tangan dalam tayamum hingga siku. Riwayat yang ada hanya sahih mauqûf kepada sahabat, sehingga perkataan dan perbuatan sahabat yang menyelisihi sabda Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dapat dijadikan dasar hukum.
  3. Amâr bin Yâsir radhiyallahu ‘anhu sendiri sebagai perawi hadis berfatwa setelah wafatnya Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mewajibkan hanya mengusap wajah dan kedua telapak tangan saja (lihat al-Mughni 1/323 dan Fathul Bâri 1/530).

Dengan demikian jelaslah kekuatan pendapat ini, wallâhu a’lam.

Apakah Harus Mengusap Seluruh Wajah dan Telapak Tangan? 

Para ulama berbeda pandangan tentang keharusan mengusap seluruh bagian muka dan telapak tangan dalam dua pendapat (lihat al-Mabsûth 1/107, Badâi' ash-Shanâi’ 1/314-315, al-Muntaqâ 1/114, Mawâhibul Jalîl 1/510-511, al-Umm 2/103, al-Majmû’ 2/168, al-Mughni 1/331, Kasyâf al-Qonaa’ 1/411 dan al-Muhalla 1/100):

  1. Wajib mengusap seluruhnya sehingga semua wajah dan telapak tangan harus diusap dengan debu dan tidak boleh ada yang tidak kena. Inilah pendapat mayoritas ulama di antaranya mazhab Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyah, dan Hanâbilah. 
  2. Tidak wajib menyeluruh, cukup mengusap mayoritas bagian tersebut telah mewakili seluruhnya. Ini adalah satu riwayat dari Abu Hanifah, dan pendapat ibnu Maslamah dari ulama Mâlikiyah, serta ibnu Hazm.  

Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua dengan alasan:

  1. Tidak ada dalil tegas yang menunjukkan kewajiban mengusap secara menyeluruh dalam tayamum. Semua hadis yang ada tidak menyebutkan kecuali mengusap wajah dan kedua telapak tangan. Kebiasaan syariat tentang mengusap tidak menuntut mengusap seluruhnya secara rata. 

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: Sesungguhnya kata al-masah (المَسْحُ) tidak ada dalam syariat kecuali pada empat hal; mengusap kepala, mengusap wajah dan kedua telapak tangan, mengusap Khuf (kaus kaki kulit), imamah dan kerudung, dan mengusap hajar aswad dalam thawaaf. Tidak ada seorangpun yang berbeda dengan kami dalam masalah ini berselisih bahwa mengusaf khuf dan mengusap hajar aswad tidak harus menyeluruh (mengenai seluruhnya). Demikian juga orang yang menyelisihi kami memandang tidak harus menyeluruh dalam mengusap imamah dan kerudung. Kemudian mereka melanggar ketentuan ini dalam tayamum sehingga mewajibkannya tanpa dasar yang kuat (al-Muhalla 1/100).

  1. Persyaratan mengusap keseluruhan mengandung unsur kesulitan dan hal ini ditiadakan dalam syariat.
  2. Seandainya hal itu diwajibkan oleh syariat tentulah disyariatkan untuk diulang mengusapnya. Karena tidak ada, maka hal ini tidak diwajibkan.
  3. Menganalogikannya dengan mengusap kepala dalam wudhu. Mengusap seluruh kepala tidak diwajibkan mengenai seluruh permukaan kepala demikian juga dalam tayamum.

Wallâhu a’lam.

Kewajiban Berurutan dalam Tayamum (At-Tartiib)

Para ulama berbeda pendapat apakah berurutan dalam tayamum hukumnya fardhu atau sunah dalam tiga pendapat:

  1. Hukumnya sunah baik dari hadas kecil atau besar. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah, Mâlikiyah, dan satu pendapat dalam mazhab Hanâbilah (lihat al-Mabsûth 1/131, Mawâhibul Jalîl 1/522 dan al-Inshâf 1/274).
  2. Hukumnya fardhu baik dari hadas kecil atau besar. Inilah pendapat mazhab Syâfi’iyah (lihat al-Umm 3/301 dan al-Majmû’ 2/186).
  3. Hukumnya fardhu dari hadas kecil dan sunah dari hadas besar. Inilah pendapat mazhab Hanâbilah (lihat al-Inshâf 1/274).

Pendapat yang rajih adalah pendapat ketiga yang membedakan antara hadas kecil sebagai pengganti wudhu dan hadas besar sebagai pengganti mandi wajib, alasannya adalah:

  1. Firman Allâh subhanahu wata’alaa: 

فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ

sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. al-Mâidah/5: 6). Ayat yang mulia ini memulai dengan wajah sebelum kedua telapak tangan, sehingga menunjukkan kewajiban berurutan dalam tayamum. Hal ini juga didukung oleh hadis Amâr bin Yâsir.

  1. Hadis Amâr bin Yâsir radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi: 

بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ ، فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ ، فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam. Lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. Bukhâri no. 347, Muslim no. 368).

Jelas dalam hadis ini ada ungkapan kata (ثُمَّ) yang dalam bahasa Arab digunakan untuk berurutan (tartiib) sehingga tangan didahulukan dari wajah. Oleh karena itu Syeikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithy rahimahullah menyatakan: Hadis al-Bukhâri ini adalah nash dalam mendahulukan kedua tangan dari wajah(Adh-Wâ’ul Bayân 2/43). Demikian juga Syeikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: Riwayat al-Bukhari jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusapkan punggung telapak tangan sebelum wajah (Majmû’ al-Fatâwa 21/425).

Namun dalam surat al-Mâidah ayat ke-6 di atas didahulukan wajah dari telapak tangan yang sesuai juga dengan hadis Amâr bin Yâsir radhiyallahu ‘anhu dalam salah satu lafaz riwayat Bukhâri,

وَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ وَاحِدَةً

“Dan beliau mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali usapan”.

Hadis Amâr bin Yâsir radhiyallahu ‘anhu ada disebabkan masalah menghilangkan hadas besar. Sehingga untuk mengkompromikannya dihukumi tidak wajib berurutan wajah dahulu kemudian kedua telapak tangan dalam tayamum dari hadas besar dan tetap pada tayamum dari hadis kecil hukumnya wajib. Dengan cara demikian terkompromikan seluruh dalil-dalil berkenaan dengan masalah ini, sehingga lebih layak dirajihkan. 

  1. Adanya kesepakatan para ahli fikih tentang tidak wajibnya berurutan dalam mandi dengan air (lihat al-Mabsûth 1/44, Adz-Dzakhîrah 1/310, al-Umm 2/89 dan al-Inshâf 1/246). Apabila tidak diwajibkan berurutan pada mandi dengan air yang merupakan pokok dan asalnya, tentunya tidak diwajibkan pada tayamum lebih memungkinkan lagi. 
  2. Sedangkan dalam wudhu diwajibkan berurutan sesuai dengan ayat wudhu, maka demikian juga dalam tayamum dari hadas kecil pun demikian. Sebab tayamum adalah pengganti wudhu dan pengganti mengambil hukum yang digantikannya. 

Wallâhu a’lam.

Kewajiban al-Muwalâh

Al-Muwalâh adalah tidak mengakhirkan pengusapan anggota tayamum sehingga kering yang sebelumnya seandainya itu dicuci secara waktu yang sedang. Ukurannya adalah waktu yang terjadi pada cucian air wudhu mengering dari satu anggota wudhu yang dicuci.

Para ulama fikih sepakat tentang pensyariatan al-muwalâh antara anggota tayamum, namun berbeda pendapat tentang hukumnya fardhu atau bukan, dalam tiga pendapat:

  1. Hukumnya sunah dalam tayamum baik dari hadas besar atau kecil. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah, Syâfi’iyah, dan satu pendapat dalam mazhab Hanâbilah (lihat al-Mabsûth 1/131, al-Majmû’ 2/186, al-Inshâf 1/274).
  2. Hukumnya fardhu dalam tayamum baik dari hadas besar ataupun kecil. Ini adalah pendapat mazhab Mâlikiyah (lihat al-Mudawwanah 1/44). 
  3. Hukumnya fardhu dari hadas kecil dan sunah dari hadas besar. Ini adalah pendapat mazhab Hanâbilah (al-Inshâf 1/274). 

Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang ketiga dengan alasan:

  1. Qiyâs (analogi) kepada thahârah dengan air, sebagaimana diwajibkan al-muwalâh dalam wudhu tanpa mandi maka demikian juga pada tayamum.
  2. Pendapat yang mewajibkan al-muwalâh dalam mandi membutuhkan dalil syar’i. Tidak ada dalil syar’i yang sahih dan jelas menunjukkan kewajiban al-muwalâh dalam mandi, bahkan yang diperintahkan dalam mandi hanyalah memandikan seluruh badan saja. Bagaimana cara mandinya maka telah menunaikan kewajiban dalam mandi tersebut. Apabila tidak wajib al-muwalâh dalam mandi, maka demikian juga tidak wajib pada penggantinya. Berbeda dengan wudhu yang ada dalil syar’i menunjukkan kewajiban al-muwalâh. Hadis Jâbir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: 

أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، أَنَّ رَجُلًا تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ» فَرَجَعَ، ثُمَّ صَلَّى

Umar bin al-Khathâb radhiyallahu ‘anhu menceritakan kepadaku bahwa seorang berwudhu lalu menyisakan seukuran kuku di tumit kakinya (tidak terkena air wudhu), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya dan berkata: Kembalilah lalu perbaikilah wudhu kamu! lalu ia kembali (berwudhu) kemudian shalat. (HR. Muslim no.243).

Al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah berkata: Dalam hadis ini terdapat dalil kewajiban al-muwalâh dalam wudhu, karena sabda beliau:

ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ

(Kembalikah lalu perbaikilah wudhu kamu!) Dan tidak menyatakan: Cucilah bagian tersebut yang kamu tidak cuci (Ikmâl al-Mu’allim 2/40 lihat al-Mufhîm 1/498).

Apabila diwajibkan al-muwalâh pada wudhu, maka tayamum yang menggantikannya juga diwajibkan sebab pengganti memiliki hukum yang digantikan. 

Wallâhu a’lam. 

Demikian sebagian masalah seputar tata cara tayamum, semoga bermanfaat.

Leave a Reply