Ihram dalam Haji dan Umrah

Sungguh Allâh subhanahu wa ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ۝٥٦

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat/51:56)

Kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allâh subhanahu wa ta’ala, maka dengan hikmah-Nya yang agung, Allâh subhanahu wa ta’ala mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia.

Di antara kesempurnaan Islam adalah penetapan ibadah Haji ke Baitullah Al-Haram sebagai salah satu syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima dan salah satu sarana dan media bagi kaum Muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.

Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu tata cara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Salah satu bagian ibadah haji yang terpenting adalah ihram yang harus dilakukan setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah, sehingga butuh dijelaskan tata cara dan hukum seputar hal ini.

Definisi Ihram

Kata ihram diambil dari bahasa arab dari Al-Haram yang bermakna terlarang atau tercegah, dinamakan hal tersebut dengan ihram karena seseorang dengan niatnya masuk pada ibadah haji atau umrah dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima’, menikah, berucap ucapan kotor dan lain-sebagainya.

Dari sini para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan. (Lihat Muzakirat Syarah Umdah hal. 65 dan Asy-Syarhul Al-Mumti‘ 6/67) . 

Dengan demikian jelas salah pemahaman sebagian kaum Muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah niat masuk ke dalam haji atau umrah. Sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram.

Tata Cara Berihram

Adapun tata cara berihram adalah :

1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir, beliau berkata:

فَخَرَجْنَا ‌مَعَهُ ‌حَتَّى ‌أَتَيْنَا ‌ذَا ‌الْحُلَيْفَةِ، فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ، مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: اغْتَسِلِي وَاسْتَثْفِرِي بِثَوْبٍ، وَأَحْرِمِي

“Lalu kami keluar bersamanya lalu tatkala sampai Dzul Hulaifah Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan?’ maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Mandilah dan beristitsfarlah (Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya darah dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengan cara mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi oleh bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perutnya, akan tetapi pada zaman sekarang telah ada softex (pembalut wanita). Lihat Syarah Muslim (8/404) dan berihramlah.'” (HR. Muslim no. 2941 8/404, Abu Daud no. 1905 dan no. 1909, dan Ibnu Majah no. 3074).

Apabila tidak mendapatkan air maka bertayammum karena bersuci yang disunnahkan, apabila tidak dapat menggunakan air maka bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadas.


2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram sebagaimana yang dikatakan Aisyah:

كُنْتُ ‌أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ، وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ

“Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.” (Muttafaqun alaih).

Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:

a. Memakainya sebelum mandi dan berihram. Ini disepakati tidak ada permasalahan. 

b. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.

Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ‌إِذَا ‌أَرَادَ ‌أَنْ ‌يُحْرِمَ، ‌يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ. ثُمَّ أَرَى وَبِيصَ الدُّهْنِ فِي رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، بَعْدَ ذَلِكَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak  di kepalanya dan jenggotnya setelah itu.” (HR. Muslim no. 2830 ).

Dan Aisyah berkata pula:

كَأَنِّي ‌أَنْظُرُ ‌إِلَى ‌وَبِيصِ ‌الْمِسْكِ فِي مَفْرِقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ مُحْرِمٌ 

“Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dan keadaan ihram.” (HR. Muslim no. 2831).

Masalah: Apabila sesorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh kebawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?

Jawaban: Tidak mempengaruhi, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan. (Lihat Syarah Mumti’ 6/73-74).

Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia melakukannya maka minyak tersebut akan menempel ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai sarung tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?

Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin dengan mengatakan: “tidak perlu, bahkan hal itu merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya. Tidak perlu juga mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan.” (Syarah Mumti’ 6/74).

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وليُحْرِمْ أحدُكم في إزارٍ ورداءٍ ونعليْنِ

“Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal.” (HR. Ahmad no. 3488 dan dishahihkan sanadnya oleh Ahmad Syakir dan Syu’aib al-Arnauth).

Dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَخَيْرُ ثِيَابِكُمِ ‌الْبَيَاضُ، فَالْبَسُوهَا، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ 

“Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian padanya.” (HR. Ahmad no. 2478. Syuaib al-Arnauth berkata “Sanadnya kuat”)

Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21): “Disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih, maka kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang di mubahkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna yang diperbolehkan, meskipun berwarna-warni.” (Dinukil dari Syarhul Mumti’  6/75).

Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

4. Disunnahkan berihram setelah salat. sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِي ‌اللَّيْلَةَ ‌آتٍ ‌مِنْ ‌رَبِّي فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ 

Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: “Salatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: Umrotan  fi hajjatin.”

Dan hadis :Jabir

ثُمَّ ‌رَكِبَ ‌الْقَصْوَاءَ، ‌حَتَّى ‌إِذَا ‌اسْتَوَتْ ‌بِهِ نَاقَتُهُ عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالحَجِّ 

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salat di Masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al-Qaswa’ (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di Al-Baida’ berihram untuk haji. (HR. Muslim).

Maka yang sesuai dengan sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah salat fardhu, akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu salat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:

a. Tetap disunnahkan salat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadis Ibnu Umar:

صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي 

(Salatlah di Wadi ini)

b. Tidak disyariatkan salat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108:

“Disunnahkan berihram setelah salat baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah satu dari dua pendapatnya dan yang lain kalau dia salat fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak maka tidak ada bagi ihram salat yang khusus dan ini yang rajih.”

Dan berkata di dalam Ikhtiyarat hal. 116: “Berihram setelah salat fardhu kalau ada atau sunnah (nafilah) karena ihram tidak memiliki salat yan khusus untuknya.”

Demikianlah tidak ada salat dua rakaat khusus untuk ihram.

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana yang dikatakan Aisyah:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ، وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ، وَمِنَّا ‌مَنْ ‌أَهَلَّ ‌بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ، وَأَهَلَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَجِّ، فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ، أَوْ جَمَعَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَلَمْ يَحِلُّوا حَتَّى يَوْمِ النَّحْرِ

“Kami telah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Haji Wada’ maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya (setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sa’i) dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar (pada tanggal 10 Dzul Hijjah).” (Mutafaq alaih).

Maka seorang yang bermanasik ifrad mengatakan:

 لَبَّيْكَ حَجًّا  atau  لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا

Dan seorang yang bermanasik tamatu’ mengatakan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً  atau  لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ عُمْرَةً

Dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:

لَبَّيْكَ حَجًّا  atau   لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا 

Dan sunnah yang bermanasik Qiran menyatakan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا

Dengan demikian seorang muslim sudah berihram dan setelahnya bertalbiyah dan menunaikan manasik haji atau umroh sampai bertahallul.

Semoga bermanfaat.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi

Leave a Reply