‌‌Hikmah Pensyariatan Haji

Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana mensyariatkan ibadah haji kepada hamba-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

ﵟوَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالاً وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ 

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)

Perintah Allah ini memiliki banyak kemaslahatan besar bagi manusia, di antaranya saling mengenal, bekerja sama, menasihati dalam kebenaran, belajar memahami agama, meninggikan kalimat Allah, menegakkan tauhid, dan sebagainya. Sehingga pensyariatan haji kepada setiap muslim di seluruh dunia termasuk rahmat Allah yang sangat besar. Apalagi ibadah haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan disyaratkan kemampuan padanya. Ini semua termasuk kemudahan dan nikmat yang besar. Sebab, bila diwajibkan setiap tahun atau tidak disyaratkan adanya kemampuan maka akan menimbulkan kesulitan besar bagi umat ini.

Pensyariatan haji memiliki hikmah yang dapat memotivasi setiap muslim untuk menunaikannya, di antaranya: 

PERTAMA: Mewujudkan tauhid dan menanamkan keikhlasan kepada Allah.

Allah tidak memerintahkan pembangunan Ka’bah kecuali untuk hal tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadat, dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 26-27)

Menyucikan Ka’bah dilakukan dengan menyucikannya dari kesyirikan, berhala, kotoran, dan noda. Ibnu Katsir menjelaskan pengertian ayat ini dengan menyatakan, “Laksanakanlah di atas nama-Ku saja dan sucikanlah rumah-Ku dari kesyirikan bagi orang-orang yang tawaf, beribadah, rukuk dan sujud, serta menjadikannya hanya untuk mereka yang beribadah kepada Allah semata tanpa berbuat kesyirikan.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/413).

Hubungan antara tauhid dengan haji sangat jelas. Karena seluruh amalan manasik dibangun di atas dasar tauhid. Banyak sekali alasan yang menjelaskan eratnya hubungan tauhid dan haji ini, di antaranya:

  1. Nabi tidak berhaji pada tahun kesembilan ketika diwajibkan haji. Hal tersebut dikarenakan kesyirikan masih tampak pengaruhnya di Masjid al-Haram. Saat itu, kaum musyrikin masih bertawaf dengan telanjang. Mereka juga memindahkan haji ke musim atau hari perayaan berhala. Kemudian Nabi ﷺ mengutus Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai amir haji dan memerintahkannya untuk menjelaskan kepada orang-orang dua perkara:

لَا يَحُجُّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ، وَلَا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ

Tidak boleh berhaji setelah tahun itu seorang musyrik pun dan tidak boleh tawaf di Ka’bah dengan telanjang. (HR al-Bukhari no. 369 dan 1622 dan Muslim no. 1347). 

  1. Syiar orang berhaji sejak awal adalah talbiah. Talbiah tidak keluar dari mengucapkan tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya untuk-Nya. Jabir bin Abdillah menjelaskan tata cara haji Nabi ﷺ:

فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيدِ “‌لَبَّيْكَ ‌اللَّهُمَّ! ‌لَبَّيْكَ. ‌لَبَّيْكَ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَكَ ‌لَبَّيْكَ. ‌إِنَّ ‌الْحَمْدَ ‌وَالنِّعْمَةَ ‌لَكَ. ‌وَالْمُلْكَ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَكَ”.

“Beliau bertalbiah dengan tauhid, mengucapkan Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik Inna al-Hamda wa an-Nikmata Laka wa al-Mulka Laa Syarikalaka.” (HR Muslim no. 1218).

Allah telah menghendaki talbiah dengan syiar ini untuk mengajarkan orang yang berhaji supaya mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah dan meninggalkan berhala serta kesyirikan. An-Nawawi menyatakan, “Berisikan isyarat menyelisihi keadaan jahiliah yang di dalam talbiahnya terdapat lafaz kesyirikan. (Syarh Shahih Muslim 8/174).

Syaikh bin Baz berkata, “Haji seluruhnya adalah ajakan bertauhid, istikamah di atas agama Islam, dan konsisten berada di atas ajaran Rasulullah ﷺ. Tujuan terbesarnya adalah membimbing manusia untuk bertauhid, ikhlas, serta mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ berupa kebenaran, petunjuk dalam haji, dan selainnya. Talbiah adalah amalan pertama yang dilaksanakan oleh orang yang berhaji dan umrah. Ia  menyatakan Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik. Ia menyampaikan ketauhidan, keikhlasan kepada Allah, dan tidak ada sekutu bagi-Nya sama sekali.” (Majmu’ Fataawa Syaikh bin Baaz 16/186). 

  1. Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ salat dua rakaat setelah tawaf dengan membaca dua surat: al-Kafirun dan al-Ikhlas. Surat al-Kafirun menjelaskan sikap berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, sedangkan surat al-Ikhlas menjelaskan ketetapan tauhid. 
  2. Nabi memulai dengan menauhidkan Allah ketika naik ke bukit Shafa, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jabir:

حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَوَحَّدَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ، وَقَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ … ».

“Hingga beliau melihat Ka’bah lalu menghadap kiblat, dan menauhidkan Allah dan bertakbir, dan berkata, ‘Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodir, laa ilaha illallahu wahdah anjaza wa’dah wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaba wahdah…’”

Tidak hanya di putaran pertama saja, bahkan beliau mengucapkannya pada setiap putaran sai.

  1. Pada hari Arafah, Nabi ﷺ pernah menjelaskan dalam sabda beliau, «الحَجُّ عَرَفَةُ» (haji itu adalah Arafah). Allah Ta’ala berbangga-bangga kepada para malaikat dengan orang yang berada di Arafah karena tauhid mereka. Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ- مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ الْمَلَائِكَةَ، فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟».

“Tidak ada hari di mana Allah membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah. Dia mendekat kemudian berbangga-bangga kepada malaikat dan berfirman: ‘Apa yang mereka inginkan?’”

  1. Allah Ta’ala memerintahkan orang yang berhaji dan berumrah supaya melaksanakannya dengan penuh ikhlas. Allah Ta’ala berfirman:

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ 

“Sempurnakanlah haji dan umrah untuk Allah.” (QS. Al-Baqarah:196). 

Semua ini menunjukkan bahwa mewujudkan tauhid menjadi maksud dan hikmah terpenting. 

KEDUA: Menampakkan kefakiran hamba kepada Allah. 

Orang yang berhaji berarti menjauhkan diri dari kemewahan dan perhiasan. Ia hanya mengenakan pakaian ihram yang terbebas dari perhiasannya, sehingga menampakkan ketidakmampuan dan kemiskinannya. Di tengah manasik, ia merendahkan diri dengan berdoa kepada Allah, merasa butuh kepada-Nya, menghinakan diri di hadapan-Nya, dan mematuhi semua perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya, baik yang diketahui hikmahnya atau tidak.

As-Sa’di berkata, “Maksud dari haji adalah merendahkan dan mendekatkan diri kepada Allah dengan semua ibadah yang dilakukan serta meninggalkan keburukan. Dengan demikian, ia akan meraih haji mabrur. Dan haji mabrur tidak dibalas kecuali dengan surga. Setiap keburukan itu terlarang pada semua tempat dan waktu, dan larangannya menjadi lebih berat pada saat haji.” (Tafsir as-Sa’di 1/92).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Melempar jamrah pada hakikatnya menjadi puncak ta’abbud dan menghinakan diri kepada Allah Ta’ala. Seseorang tidak mengetahui hikmah dari melempar jamrah di tempat tersebut, sehingga hal itu murni ibadah kepada Allah Ta’ala. Seseorang yang tetap berada pada ketaatan meski dalam keadaan tidak mengetahui hikmahnya maka lebih tegas dalam menghinakan diri dan ibadah. Karena ibadah itu, ada yang hikmahnya telah nampak sehingga seseorang beribadah kepada Allah dan menaati-Nya kemudian mengikuti yang diketahuinya dari maslahat-maslahat yang ada. Selain itu, ada pula ibadah yang tidak diketahui hikmahnya. Namun, karena Allah Ta’ala memerintahkannya maka ia melaksanakannya. Maka ini adalah puncak perendahan diri dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya.” (Fataawa Nuur ‘Ala ad-Darb 12/2). 

KETIGA: Mewujudkan ketakwaan kepada Allah. 

 Di antara hikmah dan maksud haji adalah mewujudkan ketakwaan sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah Ta’ala:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ 

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah:197).

Setelah melarang berbuat buruk dalam perkataan dan perbuatan, seperti ucapan buruk, kefasikan, dan berbantah-bantahan, Allah menganjurkan mereka untuk berbuat kebaikan. Dan Allah menyatakan dalam firman-Nya:

وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ 

“Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 197). 

Lalu Allah berfirman: 

وَتَزَوَّدُوا

“Berbekallah,” (QS. Al-Baqarah: 197)

Berbekallah kalian dalam perjalanan haji berupa makanan dan semua yang dibutuhkan. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata,

كَانَ أَهْلُ اليَمَنِ يَحُجُّونَ وَلَا يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ المُتَوَكِّلُونَ. فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}

“Dahulu penduduk Yaman berhaji dan tidak membawa bekal dan mereka menyatakan, ‘Kami bertawakal.’ Apabila sampai Makkah mereka mengemis pada orang-orang. Lalu Allah turunkan firmanNya:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى 

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197).

Ibnu Jarir berkata, “Berbekallah kalian berupa makanan pokok supaya mampu melaksanakan kewajiban dalam haji dan manasik. Bukan termasuk berbuat baik kepada Allah yaitu tidak berbekal untuk diri kalian, meminta-minta kepada manusia, serta menyia-nyiakan dan merusak bahan makanan pokok. Namun, kebaikan itu ada pada ketakwaan kepada Rabb kalian dengan meninggalkan semua larangan-Nya dalam safar haji dan melaksanakan semua perintah-Nya. Karena itulah sebaik-baik bekal dan berbekallah darinya!” (Jaami’ al-Bayaan 4/161).

Berbekal yang banyak dalam safar termasuk akhlak mulia. Sebab, dapat membantu saudaranya dengan bekal tersebut dan memberi makan mereka. Memberi makan termasuk perbuatan baik, seperti dijelaskan dalam firman-Nya:

وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj: 28). 

Apabila Allah memerintahkan untuk berbekal berupa makanan dan minuman dalam safar di dunia, Allah juga membimbing kita supaya berbekal dalam safar akhirat dengan takwa. Takwa adalah sebaik-baik perbekalan. Inilah bekal yang akan mengantarkan kepada keridaan Allah dan kenikmatan abadi di surga pada hari kiamat nanti. Ayat di atas juga memperingatkan kita agar memperhatikan bekal akhirat, yaitu takwa sebagai poros keselamatan dan satu-satunya jalan untuk meraih anugerah Allah. Ketakwaan akan melindungi pemiliknya dari penyesalan di hari kiamat. Lalu Allah mengakhiri ayat ini dengan perintah takwa;

وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ 

“Bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197).

Lalu Allah mengkhususkan orang-orang yang berakal, karena merekalah yang dapat mengambil manfaat dari firman-Nya. Allah banyak mengulang kalimat takwa dalam ayat-ayat haji, seperti firman-Nya:

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah:196).

Diakhiri dengan firman-Nya:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ 

“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 196).

Demikian juga firman-Nya:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى 

“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 203).

Diakhiri dengan firman-Nya:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 203).

Semua itu karena takwa adalah perkara yang dituntut dari ibadah haji. Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Dia tidak meridai satu amalan pun pada ibadah haji kecuali yang disertai dengan ketakwaan dalam firman-Nya:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37).

Daging dan darah yang ditumpahkan dalam ibadah kurban tidak diterima kecuali yang didasari oleh ketakwaan hati yang menimbulkan pengagungan terhadap perintah Allah, dan mendekatkan diri, serta ikhlas kepada-Nya. As-Sa’di berkata, “Bukan yang dimaksud darinya adalah semata penyembelihan saja. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah sedikit pun, karena Allah Maha Kaya dan Terpuji. Akan tetapi, keikhlasan, mencari pahala, dan niat yang benar dari kamulah yang dapat mencapainya. Oleh karena itu Allah berfirman:

وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37).

Ayat ini berisi anjuran dan motivasi untuk ikhlas dalam penyembelihan, sehingga tujuannya hanya mengharap wajah Allah saja tanpa ada kebanggaan, riya’, sum’ah, dan bukan sekadar kebiasaan. Demikianlah seluruh ibadah, apabila tidak disertai keikhlasan dan ketakwaan maka ia seperti kulit yang tidak ada isinya, dan jasad tanpa ruh. (Tafsir as-Sa’di halaman 538). 

KEEMPAT: Memperbanyak berzikir dan berdoa kepada Allah termasuk hikmah dan maksud syariat yang terbesar.

Zikir dan doa selalu ada dalam ibadah haji, baik sebelum, ketika pelaksanaan, ataupun paska pelaksanaan manasik haji. Oleh karena itu, tidak ada amalan haji kecuali ada zikir dan doa di dalamnya. Ihram yang merupakan niat masuk ibadah haji juga berisi zikir dengan hati. Talbiah setelah berihram adalah zikir dengan lisan dan hati yang disunahkan dilakukan terus-menerus secara konsisten dan tidak terputus kecuali ketika melempar jamrah aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Kemudian, tawaf dimulai dengan bertakbir, dan setiap sejajar dengan Hajar Aswad juga bertakbir. Setelah tawaf, orang yang berhaji berjalan menuju Maqam Ibrahim dan salat dua rakaat di belakangnya, berzikir, dan berdoa kepada Allah. Selesai tawaf, orang yang berhaji menuju bukit Shafa untuk menaikinya. Ia berzikir dan berdoa di sana, yakni dari sebelum menaikinya, saat berada di atasnya, dan setelah turunnya menuju Marwa.

Jabir bin Abdillah menceritakan,

فَلَمَّا دَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنَ الصَّفَا قَرَأَ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ} [البقرة: 158] «أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ». فَبَدَأَ بِالصَّفَا فَرَقِيَ عَلَيْهِ، حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَوَحَّدَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ، وَقَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ» ثُمَّ دَعَا بَيْنَ ذَلِكَ. قَالَ مِثْلَ هَذَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ،

“Ketika Rasulullah mendekat dari Shafa, beliau membaca: إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ lalu memulai menaiki Shafa hingga melihat Ka’bah. Kemudian beliau menghadap kiblat, mentauhidkan Allah, dan bertakbir, serta berkata, 

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ

Kemudian berdoa di antaranya. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR Muslim no. 1218). 

Pada hari Arafah, dianjurkan untuk memperbanyak zikir, talbiah, takbir, dan doa. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jabir:

ثُمَّ رَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى أَتَى الْمَوْقِفَ، فَجَعَلَ بَطْنَ نَاقَتِهِ، إِلَى الصَّخَرَاتِ، وَجَعَلَ حَبْلَ الْمُشَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ، ‌وَاسْتَقْبَلَ ‌الْقِبْلَةَ، ‌فَلَمْ ‌يَزَلْ ‌وَاقِفًا، حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ، وَذَهَبَتِ الصُّفْرَةُ قَلِيلًا، حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ، 

“Kemudian Rasulullah menaiki kendaraannya hingga sampai tempat wukuf. Beliau jadikan perut untanya menghadap ke bukit batu (ash-Shakhra`) dan menjadikan jalan pejalan kaki di hadapannya, kemudian menghadap kiblat. Beliau terus wukuf hingga matahari terbenam dan warna kuningnya hilang sedikit hingga bulatannya tenggelam.” (HR. Muslim no. 3074).

Di Muzdalifah, disunahkan wukuf di al-Masy’ar al-Haram. Beliau menghadap kiblat, berzikir, dan berdoa. Allah berfirman:

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا

“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafat) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 198-200).

Apabila kalian berangkat dari Arafah (setelah wukuf) dan sampai di Muzdalifah, maka berzikirlah kepada Allah di al-Masy’ar al-Haram dengan talbiah, takbir, salat Maghrib, Isya, dan Shubuh. Lalu, berzikir dan berdoalah setelah salat Shubuh. Jaabir bercerita:

ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ، حَتَّى أَتَى الْمَشْعَرَ الْحَرَامَ، فَرَقِيَ عَلَيْهِ، فَحَمِدَ اللَّهَ، وَكَبَّرَهُ، وَهَلَّلَهُ، فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا، حَتَّى أَسْفَرَ جِدًّا، ثُمَّ دَفَعَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ

“Kemudian mengendarai Qashwa (unta beliau) hingga mendatangi al-Masy’ari al-Haram lalu menghadap kiblat dan berdoa, berzikir, bertahlil, mentauhidkan Allah, dan terus wukuf hingga langit menguning sekali lalu berangkat sebelum matahari terbit.” (HR. Muslim no. 3074).

Kemudian berangkat ke Mina untuk melempar jamrah aqabah dengan tujuh batuan kecil, dan bertakbir pada setiap lemparannya. Dan disunahkan setelah melempar jamrah shughra dan wustho supaya berhenti sebentar, lantas menghadap kiblat seraya berdoa kepada Allah. Kemudian, saat proses penyembelihan kurban, diperitahkan agar berzikir kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).” (QS. Al-Hajj: 36).

Yang dimaksud dengan zikir di sini adalah mengucapkan bismillah dalam penyembelihan. Sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah:

وَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: «بِاسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ» ثُمَّ ضَحَّى بِهِ. 

“Rasulullah mengambil kambing lalu merobohkannya dan menyembelihnya dengan berkata, ‘Bismillah, Ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad’.” (HR. Muslim no.1967).

Jelas, bahwa ini adalah bentuk zikir dan doa. Kemudian, berkaitan dengan hari-hari Tasyrik, Rasulullah bersabda:

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللهِ عز وجل

“Hari-hari Tasyrik adalah hari-hari makan, minum, dan zikir kepada Allah.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih dalam al-Musnad no. 20722).

Allah Ta’ala memerintahkan untuk memperbanyak zikir setelah selesai melaksanakan manasik dalam firman-Nya:

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا

“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 200).

Karena orang-orang jahiliah dahulu apabila selesai dari haji, mereka berkumpul lalu berbangga-bangga dengan kehebatan nenek moyangnya. Lalu Allah perintahkan orang-orang Islam apabila selesai manasik haji untuk memperbanyak zikir melebihi mereka. Di akhir ayat ini, Allah membimbing hamba-hamba-Nya untuk berdoa setelah memperbanyak zikir, karena itu lebih pantas untuk diterima. Allah mencela orang yang sedikit berdoa saat haji lantaran sibuk meraih perhiasan dunia dan kelezatan yang fana`. Dan Allah memuji orang yang meminta kepada-Nya kebaikan dunia dan akhirat. Lihatlah firman-Nya:

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia’, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS. Al-Baqarah: 200-201).

Zikir selalu menyertai amalan haji. Setelah selesai semua amalan haji, jemaah haji berzikir. Setelah selesai ihram, mereka berzikir. Ketika tawaf dan melempar jamrah, mereka bertakbir. Mereka juga menyebut nama Allah pada penyembelihan di hari Nahr. Setelah selesai dari semua manasik haji, dan bahkan seluruh waktu mereka juga dipenuhi dengan zikir dan doa. (Diadaptasi secara bebas dari at-Tashiil Lita’wil al-Tanziil 3/239).

KELIMA: Membina dan menyucikan diri dengan cara bersegera melaksanakan ketaatan serta menjauhi keburukan.

Di antara hikmah dan tujuan syariat dalam ibadah haji adalah menyucikan jiwa dari akhlak-akhlak tercela dan membinanya hingga meraih hakikat takwa. Allah berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ 

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197).

Pengertian rafats adalah berhubungan seksual dengan istri dan hal-hal yang mengarah kepadanya, atau pembicaraan kotor. Adapun al-fusuq adalah semua kemaksiatan. Sedangkan al-jidal adalah berbantah-bantahan yang dapat membuat emosi, pertengkaran, dan permusuhan.

As-Sa’di menafsirkan ayat-ayat ini dengan menyatakan, “Diwajibkan untuk mengagungkan ihram khususnya yang ada di bulan-bulan haji dan menjaganya dari semua perkara yang merusak berupa rafats yaitu hubungan suami istri dan seputarnya baik berupa perbuatan atau perkataan, khususnya ketika ada kaum wanita. Fusuq adalah seluruh kemaksiatan, di antaranya yaitu hal-hal yang terlarang dalam ihram (mahzhuraat al-ihram). Sedangkan al-jidal adalah berbantah-bantahan, bertengkar, dan ucapan yang dapat menimbulkan keburukan hingga permusuhan. Ketahuilah, bahwa tidak sempurna pendekatan diri kepada Allah hanya dengan meninggalkan kemaksiatan saja hingga ia juga melaksanakan perintah-perintah-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman:

وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ 

‘Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.’ (QS. Al-Baqarah: 197).

Allah Ta’ala menggunakan kata (من) untuk menegaskan keumumannya. Setiap kebaikan dan ibadah, Allah mengetahuinya. Ayat ini berisi anjuran yang sangat untuk berbuat kebaikan, khususnya di tempat yang mulia dan tanah suci. Dan sudah sepatutnya meraih yang dapat diraih di sana, seperti shalat, puasa, sedekah, tawaf, dan perbuatan serta perkataan baik.” (Tafsir as-Sa’di halaman 91).

Haji yang bebas dari rafats, fusuq, dan jidal ini adalah haji mabrur yang menjadi sebab ampunan dosa, berdasarkan sabda Rasulullah:

مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ 

“Barang siapa yang berhaji ke Ka’bah ini lalu tidak berbuat rafats dan fusuq, maka kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350). 

KEENAM: Dalam haji ada pengingat akhirat dan berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat nanti.

Di Masya’ir, baik di Mina, Muzdalifah, dan Arafah terhimpun manusia dari beraneka ragam jenis dan ras. Mereka mengenakan pakaian yang sama dan dalam keadaan kepala terbuka seraya bertalbiah, memenuhi panggilan Allah Ta’ala. Ini adalah realitas yang menyerupai berdirinya manusia di hadapan Allah pada hari kiamat, yaitu dalam keadaan telanjang, tidak memakai alas kaki, dan tidak berkhitan. Pada saat itu, manusia merasakan ketakutan, penyesalan, dan kengerian. Hal tersebut menjadi motivasi guna membangkitkan jiwa orang yang berhaji supaya takut kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi (muraqabah), dan mengikhlaskan semua amalan untuk-Nya. (Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baz 16/246-247).

KETUJUH: Pembinaan umat untuk mengetahui pengertian persatuan yang benar. 

Perbedaan antara manusia yang kaya, fakir miskin, warna kulit, dan ras tidak tampak jelas dalam pelaksanaan haji. Karena semua mengarah ke satu tujuan yaitu kepada Sang Maha Pencipta. Mereka memakai pakaian yang sama, dan menunaikan amalan yang sama pada waktu serta tempat yang sama. Selain itu, juga terbentuk kerja sama di antara jemaah haji dalam hal kebaikan, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Ini semua tentunya membina umat supaya bersatu di atas ibadah kepada Allah Ta’ala.

Haji dapat mendidik jiwa dengan ruh militer dengan semua yang dibutuhkannya berupa kesabaran dan tahan banting. Mereka bekerja sama dengan aturan dan disiplin yang kokoh. Lihatlah para jemaah haji yang bersabar dan bertahan dari kesusahan safar, hingga berkumpul seluruhnya di kota Makkah, tanah suci Allah. Kemudian mereka semua berangkat dalam keadaan demikian dari bulan Dzulhijjah untuk menunaikan manasik dan menetap, serta bergerak secara serentak dengan penuh kegembiraan.

Di sanalah hilang perbedaan antar manusia, hilang perbedaan antara kaya dan fakir, ras, warna, serta perbedaan lisan dan bahasa. Manusia bersatu pada muktamar yang semuanya kebaikan, keberkahan, penuh musyawarah, bekerja sama melaksanakan kebaikan, serta saling menguatkan. Muktamar haji menyatukan manusia di atas kebenaran dan takwa, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta kurang tidur untuk kemaslahatan umat.

Dalam haji ada kenangan-kenangan indah tak terlupakan. Ruh ibadah sempurna yang tertanam dalam jiwa dan ketundukan yang tak terbatas terhadap perintah Allah dan syariat-Nya. Haji membina setiap muslim untuk mengetahui betapa indah dan urgennya persatuan. Di antara yang memberikan pengetahuan ini adalah:

  1. Berkumpulnya orang dari segenap penjuru dunia dan saling bertukar kasih sayang, cinta, dan saling mengenal di antara mereka. Juga nasihat, bimbingan, dan arahan kepada kebaikan yang sampai kepada mereka.
  2. Tampilnya kaum muslimin dengan satu penampilan di satu waktu dan tempat, serta amalan dan kondisi mereka. Semuanya berdiri di tempat-tempat Masya’ir di satu waktu, amalannya satu, keadaannya satu: menggunakan dua helai kain ihram serta ketundukan di hadapan Allah Ta’ala. (lihat Majmu’ al-Fataawa wa Rasa`il al-‘Utsaimin 24/241).

Banyak hal lain yang mendorong kaum muslimin dapat merasakan persatuan dan keindahannya di waktu haji. 

KEDELAPAN: Menunaikan kewajiban haji berisikan rasa syukur pada nikmat dan keselamatan badan. 

Orang yang berhaji melaksanakan wukuf di Arafah, berdoa kepada Allah, memuji-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan memohon ampun atas semua dosanya. Dalam ibadah haji, seseorang menunaikan syukur atas dua nikmat, ia bersungguh-sungguh mengerahkan kemampuannya, dan menginfakkan harta untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. (lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 17/26-27 dan Majmu’ al-fatawaa wa Rasaa`il al-‘Utsaimin 24/239-240).

Ibadah haji mengandung dua hikmah sekaligus, yaitu:

  1. Ibadah haji adalah manifestasi penghambaan serta wahana menampakkan kehinaan dirinya, seperti yang terlihat ketika ihram. Orang yang berhaji dilarang untuk menghias dirinya meskipun sebenarnya boleh dilakukan di luar haji. Saat ihram, ia dituntut berpenampilan sangat sederhana dan menampakkan perasaan butuh terhadap pertolongan dan rahmat Tuhan-Nya.
  2. Ibadah haji juga merupakan wujud ungkapan syukur atas nikmat Allah. Dengan ibadah haji, seseorang harus mengorbankan dua hal, yaitu badan dan hartanya. Ungkapan yang benar untuk mensyukuri nikmat harta dan badan adalah dengan menggunakannya pada jalan yang diridai oleh Allah ﷻ.

KESEMBILAN: Memperoleh banyak kemanfaatan. 

Menyaksikan dan memperoleh manfaat termasuk di antara hikmah dan tujuan pensyariatan haji, seperti dijelaskan dalam firman-Nya:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (27) لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (QS. Al-Hajj: 27-28).

Manfaat dari ibadah haji meliputi manfaat agama dan duniawi. Di antara manfaat agama yang diperoleh orang yang berhaji adalah:

  1. Mendapatkan ampunan dosa, serta penghapusan dosa dan keburukan yang telah lalu, berdasarkan sabda beliau:

مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ 

“Barang siapa yang berhaji ke Ka’bah ini lalu tidak berbuat rafats dan fusuq, maka kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350).

  1. Masuk surga berdasarkan keumuman sabda beliau:

«الحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ»

“Haji yang mabrur tidak ada baginya balasan kecuali surga.” (HR al-Bukhari no. 1773).

  1. Memperoleh ketakwaan, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32).

Adapun manfaat duniawi yang diperoleh orang yang berhaji, di antaranya adalah:

  1. Memperoleh daging hadyu dan sembelihan lainnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah)”. (QS. Al-hajj: 33).

  1. Hasil usaha perdagangan, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ

“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (QS. Al-Baqarah: 198).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata: 

 كَانَتْ عُكَاظٌ وَمَجَنَّةُ وَذُو المَجَازِ أَسْوَاقًا فِي الجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا كَانَ الإِسْلَامُ، فَكَأَنَّهُمْ تَأَثَّمُوا فِيهِ، فَنَزَلَتْ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ} [البقرة: 198] فِي مَوَاسِمِ الحَجِّ.

“Dahulu, ‘Ukaazh, Mujannah, dan Dzu al-Majaaz adalah pasar-pasar di masa jahiliah. Ketika ada Islam, seakan-akan mereka merasa berdosa. Lalu turunlah firman Allah yang artinya, ‘Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. (QS. Al-Baqarah:198) di musim Haji.” (Shahih al-Bukhari no. 2050).

Ibnu Qudaamah berkata, “Adapun perniagaan dan usaha industri, maka tidak kami ketahui dalam kebolehannya perbedaan pendapat.” (Al-Mughni 5/174).

  1. Terwujudnya solidaritas dan empati kepada orang-orang fakir miskin berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj:28)

Asy-Syinqithy berkata, “Di antara manfaatnya adalah kemudahan berkumpulnya kaum muslimin dari penjuru dunia di waktu-waktu tertentu di tempat tertentu agar merasakan persatuan Islam dan agar memudahkan sebagiannya mendapatkan manfaat dari yang lainnya pada semua kepentingan umum dari perkara dunia dan agama. Maka haji adalah pensyariatan agung dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Adh-wa’ al-Bayaan 5/536).

Tentunya, masih banyak lagi manfaat yang dapat diraih oleh orang yang berhaji dan yang terlibat dalam ibadah ini. Wallahu a’lam.

Leave a Reply