Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sudah dimaklumi, terkadang seorang yang bersemangat untuk mendapatkan takbiratul ihrâm bersama imam tidak bisa mendapatinya karena alasan dan uzur tertentu. Orang tersebut kadang terlambat dan tidak bisa menjadi makmum dari raka’at pertama. Inilah yang sering diistilahkan dengan istilah masbûq.
Masbûq dalam istilah para ulama fikih adalah orang yang ketinggalan imam dalam sebagian raka’at shalat atau seluruhnya atau mendapati imam setelah satu raka’at atau lebih (lihat Hâsyiyah Ibnu Abidîn 1/400).
Bagaimana Masbûq Melakukan Shalat yang Tertinggal?
Apabila masbûq mendapatkan shalat berjamaah maka dia mengikuti imam dalam semua perbuatan shalat, lalu menyempurnakan yang terlewatkan, berdasarkan sabda Rasûlullâh shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Apabila kalian telah mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang dan santai dan jangan terburu-buru. Yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah (HR al-Bukhari no 636).
Dengan demikian orang yang mendapatkan imam telah melakukan shalat hendaknya mengikuti sesuai keadaan imam, walaupun sudah berada di tahiyat akhir, karena keumuman hadits di atas (lihat Majmu fatâwa wa Maqâlat Mutanawwi’ah, Syeikh bin Bâz, 12/173).
Apabila imam salam maka masbûq tidak salam tapi bangun untuk menyempurnakan yang terlewatkan dengan cara sebagai berikut:
- Apabila mendapatkan imam dalam keadaan ruku’, maka dia telah mendapatkan raka’at bersama imam. Inilah pendapat mayoritas ulama seperti empat imam dan lainnya. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu, Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, Zaid Bin Tsâbit radhiyallaahu ‘anhu, dan yang lainnya. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairoh radhiyallaahu ‘anhu, Rasûlullâh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ مَعَ الْإِمَامِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Siapa yang mendapati satu raka’at shalat bersama imam, maka ia mendapati shalat.” (HR Muslim no 162)
Hal ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Khuzaimah rahimahullaah dalam shahihnya no 1595 dengan lafaz:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ، فَقَدْ أَدْرَكَهَا قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الْإِمَامُ صُلْبَهُ
“Siapa yang mendapati satu raka’at shalat maka ia mendapati shalat sebelum imam meluruskan tulang punggungnya.”
Juga dikuatkan dengan sabda Rasûlullâh shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا، وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا، وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Jika kalian datang untuk shalat sedangkan kami sedang sujud maka sujudlah dan jangan menganggapnya satu raka’at, siapa yang mendapati satu raka’at maka ia mendapati shalat.” (HR Abu Dawûd no. 896 dan dinilai sebagai hadits hasan oleh al-Albâni).
Apalagi adanya hadits Abu Bakrah radhiyallaahu ‘anhu yang berbunyi.
أَنَّ أَبَا بَكْرَةَ، حَدَّثَ أَنَّهُ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَنَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاكِعٌ، قَالَ: فَرَكَعْتُ دُونَ الصَّفِّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
Sungguh Abu Bakrah telah menceritakan bahwa dia mendapati Rasûlullâh shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan ruku’ lalu ia berkata: Lalu aku pun ruku’ sebelum sampai masuk ke saf, kemudian Rasûlullâh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allâh menambah semangatmu dan jangan mengulanginya.”
Dari dalil ini dipahami, kalau saja mendapatkan ruku’ beserta imam tidak dianggap (satu raka’at), maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkannya untuk mengqadha’ raka’at yang tidak mendapatkan bacaan (al-Fatihah) di dalamnya. Akan tetapi tidak ada riwayat yang menerangkan perintah tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa siapa yang mendapatkan ruku’nya (imam), maka dia telah mendapatkan (satu) raka’at (Silakan merujuk Silsilah al-Ahadits as-Shahihah, 230).
Pendapat ini dirojihkan Syeikh bin Bâz dalam Majmu’ Fatâwa beliau (13/160-162).
- Apabila menemui imam dalam keadaan berdiri (i’tidal) dari ruku’ maka ia ketinggalan raka’at tersebut, demikian juga bila mendapatkan imam telah sujud. Hal ini berdasarkan sabda Rasûlullâh shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا، وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا، وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Jika kalian datang untuk shalat sedangkan kami sedang sujud maka sujudlah dan jangan menganggapnya satu raka’at, siapa yang mendapati satu raka’at maka ia mendapati shalat.” (HR Abu Dawûd no. 896 dan dinilai sebagai hadits hasan oleh al-Albâni)
Kemudian menyempurnakan shalat sesuai dengan raka’at yang terlewatkan setelah imam salam.
- Apabila tertinggal satu raka’at bersama imam, maka ia menyempurnakannya setelah imam salam dan tidak menjahrkan bacaannya walaupun dalam shalat jahriyah, karena itu adalah akhir shalatnya. Hanya ada perbedaan pendapat tentang membaca surat al-Qur`an setelah al-Fatihah berdasarkan perbedaan riwayat hadits Abu Qatâdah radhiyallaahu ‘anhu:
فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah.” (HR al-Bukhâri no 636). Pada riwayat Mu’awiyah bin Hisyam dari Syaiban dengan lafadz: فَاقْضُوا (mengqadha’nya).
Mayoritas ulama memandang bacaan surat setelah al-Fatihah yang terlewatkan dalam raka’at pertama diqadha’ atau dibaca setelah al-Fatihah. Oleh karena itu asy-Syaukâni rahimahullaah menukil pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri dalam menjelaskan pendapat ini. Beliau rahimahullaah menyatakan: Mayoritas ulama telah mengamalkan kedua lafadzh ini, mereka menyatakan: apa yang didapatkan bersama imam adalah awal shalatnya, namun ia mengqadha yang terlewatkan dari bacaan surat bersama ummul Qur`an (al-Fatihah) dalam shalat yang empat raka’at (ar-ruba’iyah) dan tidak disunnahkan untuk mengulangi bacaan secara keras (al-jahr) pada dua raka’at tersisa.
Dasar argumentasi ini adalah pernyataan Ali bin Abi Thâlib radhiyallaahu ‘anhu:
مَا أَدْرَكْتَ مَعَ الْإِمَامِ فَهُوَ أَوَّلُ صَلَاتِكَ، وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ بِهِ مِنْ الْقُرْآن
“Yang kamu dapatkan bersama imam maka itu awal shalatmu dan qadha’ lah yang terlewatkan dari al-Qur`an.” (HR al-Baihaqi)
Sedangkan pendapat Ishâq rahimahullaah dan al-Muzani rahimahullaah adalah tidak membaca kecuali al-Fatihah saja. Al-Haafiz Ibnu Hajar rahimahullaah berkata: Ini sesuai qiyâs (Nailul Authaar 3/161).
- Apabila tertinggal dari imam sebanyak dua raka’at, maka dia menunaikannya setelah imam salam. Apabila shalatnya empat raka’at maka dua raka’at tersisa dilakukan sesuai dengan tata cara shalat pada raka’at ketiga dan keempat tanpa mengeraskan bacaan.
Apabila pada shalat tiga raka’at seperti magrib disunnahkan mengeraskan bacaan al-Fatihah dan surat di raka’at yang dilakukan setelah imam salam, karena itu dianggap raka’at yang kedua bagi masbûq tersebut dan duduk tahiyat awal. kemudian shalat untuk raka’at ketiga seperti biasanya dan salam. - Apabila tertinggal dari imam sebanyak tiga raka’at dalam shalat yang empat raka’at, maka dia menunaikannya tiga raka’at tersisa setelah imam salam. Menjadikan raka’at setelah imam salam sebagai raka’at kedua yang biasa dilakukan karena itu dianggap raka’at yang kedua bagi masbûq tersebut dan duduk tahiyat awal. Apabila tertinggal tiga raka’at dalam shalat magrib maka masbûq melaksanakan shalat magrib seperti biasanya dan salam.
- Apabila tertinggal dari imam sebanyak empat raka’at, maka dia menunaikan shalat secara utuh setelah imam salam.
- Apabila masbûq mendapati imam dalam keadaan ruku atau sujud maka ia bertakbir takbiratul ihram dan bertakbir setelahnya dengan takbir pindah untuk ruku atau sujud bersama imam. Apabila mendapatkan imam sedang duduk tahiyat awal atau duduk di antara dua sujud maka tidak bertakbir kecuali takbiratul ihram saja kemudian duduk bersama imam tanpa takbir dan jangan menunggu imam berdiri pada raka’at berikutnya untuk berjamaah dalam shalat pada keadaan yang telah dijelaskan.
- Ketika berdiri untuk menyempurnakan shalat setelah imam salam, maka makmum yang masbûq bertakbir apabila mendapatkan bersama imam dua raka’at terakhir dari shalat yang empat raka’at atau yang tiga raka’at seperti magrib. Hal ini karena duduknya bersama imam dalam tahiyat sesuai dengan keharusannya. Apabila mendapatkan bersama imam dalam satu raka’at saja, maka masbûq tersebut bangun tanpa bertakbir, karena duduk tahiyatnya bersama imam tidak seharusnya dan dilakukan hanya untuk mengikuti dan menyesuaikan imam. Apabila mendapatkan bersama imam kurang dari satu raka’at seperti mendapati imam sedang sujud atau tahiyat akhir maka ia bangun dengan bertakbir, karena itu seperti pembuka shalatnya.
Hukum Bermakmum dengan Masbûq
Banyak didapati kaum muslimin yang tertinggal jamaah bersama imam bermakmum kepada orang yang masbûq. Ada tiga bentuk masalah ini:
- Seorang yang belum shalat menjadikan masbûq sebagai imamnya.
- Sebagian masbûq bermakmum dengan masbûq yang lainnya.
- Orang mukim menyempurnakan shalatnya dengan menjadikan makmum lainnya sebagai imam apabila imam yang musafir telah salam.
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukum bermakmum dengan masbûq dalam dua pendapat:
Pendapat pertama: Tidak boleh bermakmum dengan masbûq dan tidak sah shalatnya. Inilah pendapat mazhab hanafiyah (Fathul Qadîr 1/227 dan al-Bahrur Raa`iq 1/383) dan malikiyah (Asy-Syarhu al-Kabîr ad-Dardiri 1/327 dan Mawahib al-Jalil 4/489). Malikiyah merinci, apabila masbûqnya mendapatkan satu raka’at atau lebih bersama imam (red: maka bermakmum pada masbûq tidak sah). Apabila (red: masbûq) mendapatkan kurang dari satu raka’at (red: bersama imam) maka sah shalatnya (red: berimam ke masbuq).
Dasar pendapat ini adalah:
- Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ
“Imam dijadikan untuk diikuti maka jangan menyelisihinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Makmum mengikuti; imam tidak diikuti. Seandainya makmum menjadi imam, maka tidak terwujudkan sifat dalam hadits ini, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan shalat antara makmum dan imam sehingga makmum tidak menjadi imam dan makmum sekaligus dalam satu waktu.
- Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
الإمامُ ضامِنٌ، والمُؤذنُ مُؤتَمَن
“Imam bertanggung jawab dan muadzin dipercaya.” (HR Abu Dawud no. 517 dan at-Tirmidzi no. 207. Hadits ini dishahihkan al-Albani)
Makmum tidak membaca al-Fatihah dan berdiri ketika mendapatkan ruku’ bersama imam ditanggung oleh imam. Apabila demikian keadaan masbûq lalu bagaimana dengan orang yang berimam kepada masbûq?
(Red: sanggahan untuk paragraf di atas) Ini di luar permasalahan yang dibahas, karena masbûq ketika imam telah salam menyempurnakan yang menjadi kewajibannya sehingga ia berada dalam hukum orang yang shalat sendirian. Dasarnya adalah bila masbûq lupa setelah imam selesai salam maka imam tidak menanggungnya.
- Karena hal ini berisi perpindahan dari imam ke imam yang lain dan perpindahan tersebut tanpa ada udzur. Juga tidak mungkin berpindah dari yang rendah sebagai makmum ke yang lebih tinggi sebagai imam. Jelas bahwa imam lebih tinggi kedudukannya dari makmum.
- Karena hal ini tidak dikenal dan tidak masyhur di zaman salaf. Para sahabat apabila ketinggalan shalatnya tidak pernah sepakat seorang maju menjadi imam mereka. Seandainya ini termasuk dibenarkan dan baik tentulah mereka telah melakukannya.
Pendapat kedua: Bolehnya bermakmum dengan masbûq dan sah shalatnya. Inilah satu pendapat dalam madzhab asy-Syafi’iyah (Tuhfatul Muhtâj al-Haitsami 8/361 dan Nihâyatul Muhtâj 2/233) dan pendapat yang paling sah dalam madzhab Hanabilah serta dirojihkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (al-Mubdi’ 1/424 dan Majmu’ al-Fatâwa 23/382). Dasar pendapat ini adalah:
- Hadits Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu yang berbunyi:
نِمْتُ عِنْدَ مَيْمُونَةَ وَالنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ «فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي، فَقُمْتُ عَلَى يَسَارِهِ، فَأَخَذَنِي، فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ،
“Aku tidur di rumah Maimunah dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berada bersamanya malam tersebut, lalu beliau berwudhu kemudian bangun shalat. Kemudian aku berdiri di sebelah kiri beliau lalu beliau menarikku dan menjadikanku di sebelah kanan beliau.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Hadits Anas bin Maalik radhiyallaahu ‘anhu yang berbunyi:
كَانَ رَسُولُ صلى الله عليه وسلم، يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ، فَجِئْتُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ وَجَاءَ رَجُلٌ آخَرُ، فَقَامَ أَيْضًا حَتَّى كُنَّا رَهْطًا فَلَمَّا حَسَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنَّا خَلْفَهُ جَعَلَ يَتَجَوَّزُ فِي الصَّلَاةِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di Ramadhan, lalu aku datang dan berdiri di samping beliau dan datang orang lain lalu berdiri juga hingga kami berombongan. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam merasa bahwa kami di belakangnya maka beliau memperingan shalatnya.” (HR Muslim 2/755 no. 1104).
Mereka menyatakan bahwa dua hadits ini berisi dalil orang yang shalat sendirian sah berubah menjadi imam dan (red: untuk) masbûq ketika menyempurnakan kekurangannya berada pada hukum orang yang shalat sendirian. Kalau begitu sah keimaman masbûq.
- Hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa yang berbunyi:
فَلَمَّا دَخَلَ الْمَسْجِدَ سَمِعَ أَبُو بَكْرٍ حِسَّهُ، ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ، فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قُمْ مَكَانَكَ فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى جَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي بِالنَّاسِ جَالِسًا وَأَبُو بَكْرٍ قَائِمًا يَقْتَدِي أَبُو بَكْرٍ بِصَلَاةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَقْتَدِي النَّاسُ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ
“Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk masjid, Abu Bakar mendengar gerakannya lalu mundur, kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat untuk tetap di tempatnya. Datanglah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga duduk di sebelah kiri Abu Bakar. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi imam dalam keadaan duduk sedangkan Abu Bakar berdiri. Abu Bakar mengikuti shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang mengikuti shalat Abu Bakar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Perpindahan dari imam kepada imam lain sudah ada dalam sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti dalam kisah Abu Bakar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika Abu Bakar berpindah dari imam menjadi makmum dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi imam setelah Abu Bakar menjadi imam sebelumnya. Sehingga keimaman masbûq sah karena mirip dengan hal itu dan perpindahan status imam tidak merusak shalat.
- Atsar Amru bin Maimun radhiyallaahu ‘anhu dalam kisah terbunuhnya Umar bin al-Khathab yang ada di sana:
وَتَنَاوَلَ عُمَرُ يَدَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَدَّمَهُ
“Umar menarik tangan Abdurrahman bin ‘Auf dan menyuruhnya maju.” (Riwayat al-Bukhari no. 3700)
Abdurrahman bin Auf radhiyallaahu ‘anhu menyempurnakan shalat sebagai imam. Hal ini terjadi di hadapan para sahabat dan yang lainnya dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya, sehingga itu seperti sebuah ijma’ (lihat al-Mughni 1/779).
Hadits ini berisi dalil sahnya shalat dengan dua imam. Kadang makmum menjadi imam dalam kisah Umar bin Khathab ini.
- Berdalil dengan keumuman dalil-dalil keutamaan shalat berjama’ah.
Pendapat yang Rojih
Setelah melihat dalil-dalil yang mendasari pendapat-pendapat di atas, didapatkan dasar pendapat pertama adalah keterkaitan shalat masbûq dengan shalat imamnya dan makmum tidak bisa jadi imam. Padahal jelas bahwa makmum setelah imam selesai dihukumi sebagai orang yang shalat sendirian. Dengan demikian maka pendapat kedua yang membolehkan lebih kuat, sehingga dirojihkan Syeikh bin Bâz (Majmu’ Fatâwa bin Bâz 12/148) dan Syeikh ibnu Utsaimîn (asy-Syarhul Mumti’ 2/317) rahimahumaallaah.
Namun perlu dilihat kembali dasar pendapat pertama yang cukup kuat yaitu tidak adanya perbuatan tersebut diceritakan dari kalangan para sahabat, padahal mereka adalah orang yang paling semangat mengamalkan kebaikan dan menghadiri shalat berjamaah. Oleh karena itu Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullaah mengingatkan hal ini dalam pernyataan beliau:
Yang rojih itu sah namun menyelisihi yang lebih utama. Maksudnya lebih dekat kepada bid’ah dari sunnah; karena sahabat tidak pernah melakukannya. Dahulu seorang (red: jika) ketinggalan shalatnya lalu bangun menyempurnakannya sendirian. Kemudian ini juga menimbulkan rangkaian yang terus menerus ketika orang yang masuk shalat bersama orang masbûq yang menyempurnakan shalatnya, lalu orang tersebut menyempurnakan kekurangannya kemudian masuk orang lain lagi dan shalat bersamanya dan seterusnya. Kalau sudah demikian maka nampak ini jadi sebuah kebid’ahan (Liqa al-Bâb al-Maftuh 12/316).
Wallahu a’lam.