Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Apabila shalât fardhu ditunaikan pada waktunya, maka wajib dilakukan sesuai urutannya, karena waktunya berurutan dan shalât-shalât tersebut memiliki waktu khusus. Hal ini dijelaskan Allâh subhanahu wata’alaa dalam firmannya:
فَإِذَا قَضَيۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمۡۚ فَإِذَا ٱطۡمَأۡنَنتُمۡ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَۚ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا ١٠٣
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalât(mu), ingatlah Allâh di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalât itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalât itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. an-Nisâ’/4: 103).
Namun terkadang ada permasalahan dalam urutan pelaksanaan shalât fardhu bila berkumpul lebih dari satu shalât fardhu dalam satu waktu, seperti ketika menjamak antara dua shalât atau meng-qhada’ shalât yang terlewatkan.
Urutan Shalât ketika Dijamak
Islam sebagai rahmat bagi alam semesta memiliki keistimewaan memberikan kemudahan kepada manusia dan memperhatikan keadaan mereka. Di antara bentuk rahmat tersebut adalah pensyariatan menjamak dua shalât dalam satu waktu karena uzur, seperti safar (bepergian jauh) dan yang lainnya. Para ulama sejak dulu kala telah bersepakat tentang kebolehan menjama’ shalât zuhur dan ashar di Padang Arafah dan shalât magrib dan isya di Muzdalifah, seperti disampaikan oleh Ibnul Mundzir dalam kitab al-Ijma’ hlm 36 dan al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah 7/155 serta ibnu taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa 22/85.
Adapun mayoritas ulama memandang pensyariatan jamak pada selain dua masalah ini selama ada uzur yang membolehkannya dengan adanya perbedaan dalam menentukan jenis uzur yang membolehkan tersebut (lihat Bidayatul Mujtahid 1/204). Sedangkan Hanafiyah membatasi kebolehan menjamak hanya pada dua masalah tersebut saja (lihat ad-Durulmukhtaar dengan Hasyiyah ibnu ‘Abidin 1/255-256).
Sedangkan yang menjadi masalah adalah hukum urutan shalât yang dijamak, baik dijama’ di waktu shalât yang pertama atau pada waktu shalât yang kedua, baik di Arafah ataupun di Muzdalifah, dan tempat lainnya.
Para ahli fikih dari empat mazhab sepakat tentang pensyariatan urut antara dua shalât yang dijamak, karena syariat menetapkan waktu untuk shalât secara berurutan. Sehingga mendahulukan shalât zuhur apabila dijamak dengan ashar dan mendahulukan shalât maghrib bila dijamak dengan isya. Juga tidak ada khilaf di antara mereka tentang berurutan dalam jamak taqdim sebagai satu kewajiban dan syarat, sehingga mendahulukan zuhur baru ashar dan maghrib kemudian isya dan tidak sah mendahulukan yang kedua dari yang pertama. Tidak sah dalam jamak taqdim mendahulukan ashar atas zuhur dan isya atas magrib (lihat Bada’i Shana’i 2/152, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/374 dan al-Inshaaf 2/345-346).
Yang diperselisihkan adalah pada jamak ta’khîr apakah diwajibkan dan disyaratkan berurutan ataukah tidak?
Dalam permasalahan ini ada dua pendapat para ulama:
Pendapat pertama: Urut dalam pelaksanaan jamak dua shalât secara jamak ta’khîr hukumnya wajib dan syarat sah. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah (lihat Fathul Qadir 2/172), Mâlikiyah (lihat Bidayatul Mujtahid 1/219-220), dan Hanâbilah (lihat Syarh Muntahal Iradat 1/282).
Di antara dalil pendapat ini adalah semua hadis yang dinukilkan dari Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menjamak sholat selalu mendahulukan dalam pelaksanaannya shalât secara urut. Contohnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjamak shalât zuhur dan ashar di Arafah secara urutan sebagaimana ada dalam hadis Jâbir bin Abdillâh radhiyallahu ‘anhu yang panjang dalam tata cara haji Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata:
ثُمَّ أَذَّنَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ، وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Kemudian berazan, kemudian iqamah lalu shalât zuhur, kemudian iqamah lagi lalu shalât ashar dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak shalât lainnya di antara keduanya. (HR. Muslim no. 147).
Padahal telah ada perintah Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalâtlah kalian sebagaimana kalian telah melihatku shalât. (HR. al-Bukhari no. 605).
Pendapat ini memberikan alasan tentang kewajiban mendahulukan shalât pertama pada jamak taqdim bahwa shalât yang kedua sebenarnya belum masuk waktunya dan dibolehkan karena ikut dengan shalât yang pertama dan yang ikut tidak boleh mendahului yang diikuti.
Semua ini menunjukkan kewajiban menunaikan shalât secara urut sesuai urutan waktunya sehingga zuhur didahulukan dari ashar dan magrib didahulukan dari isya.
Pendapat kedua: Urut dalam pelaksanaan jamak dua shalât secara jamak ta’khîr hukumnya sunah tidak wajib dan bukan syarat sah, sehingga bila didahulukan shalât yang kedua dari yang pertama sah hukumnya. Inilah pendapat mazhab Syâfi’iyah (lihat al-Majmu’ 4/374-376 dan Mughnil Muhtaaj 1/272-273).
Pendapat ini beralasan bahwa tidak wajibnya urut dalam jamak ta’khîr. Karena itu adalah waktu untuk sholat kedua. Apabila didahulukan maka berarti telah shalât pada waktunya dan waktu itu memang untuknya sehingga tidak mengikuti sholat yang pertama.
Tarjih:
Dr. Abdullâh bin Shâlih al-Kanhâl (lihat at-Tartib Fil ‘Ibadaat Fil Fiqhil Islami 1/308) dan Syeikh Kamâl bin Sayyid Salîm (lihat Shahih Fiqh Sunnah 1/496) merajihkan pendapat pertama. Hal ini karena shalât lima waktu diwajibkan secara urut sesuai waktunya sehingga wajib dilaksanakan sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan syariat. Apabila ada keringanan menjamak dua shalât dalam satu waktu karena uzur, maka mestinya mencukupkan dengan sebab keringanan dan tidak dalam urutan shalât nya, karena tidak ada dalil yang jelas tentang kebolehan tidak berurutan. Demikian juga keringanan menjamak shalât dalam rangka mempermudah dan menghilangkan kesulitan (al-haraj) dan tidak ada dalam kewajiban mengurut shalât yang dijamak kesulitan yang mu’tabar.
Demikianlah pendapat yang rajih dalam masalah ini.
Urutan Shalât dalam pelaksanaan Qadha
Sudah dimaklumi shalât dilakukan pada waktunya, namun terkadang dengan sebab tertentu seperti lalai atau lupa atau ketiduran, shalât tidak bisa ditunaikan pada waktunya dan setelah keluar waktunya baru bisa ditunaikan. Inilah yang dinamakan mengqadha shalât.
Apabila shalât belum dilakukan hingga keluar dari waktunya dengan sebab uzur syar’i lalu ingin menunaikannya secara qadha apakah harus urut sesuai urutan waktu ataukah tidak wajib?
Para ahli fikih dari empat mazhab sepakat tentang pensyariatan urut dalam mengqadha shalât. Hal ini dengan mendahulukan shalât yang diqadha dari yang ada di waktu tersebut, seperti seorang berada di waktu sholat magrib dan ingin mengqadha sholat ashar yang terlupakan maka ia mendahulukan shalât ashar kemudian baru shalât magrib. Demikian juga mereka sepakat tentang pensyariatan urut dalam menunaikan beberapa shalât yang diqadha sehingga bila mengqadha shalât zuhur dan ashar di waktu magrib maka ditunaikan yang zuhur dulu baru kemudian yang ashar lalu shalât magrib.
Yang diperdebatkan adalah apakah hal itu wajib ataukah hanya sunah hukumnya?
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat:
Pendapat pertama: urut dalam pelaksanaan shalât yang diqadha hukumnya wajib. Inilah pendapat mayoritas ulama fikih dari mazhab al-Hanafiyah (lihat al-Mabsuuth 1/87), al-Mâlikiyah (lihat al-Mudawanah 1/122), dan al-Hanâbilah (lihat al-Mughni 2/336).
Di antara dasar pendapat ini adalah:
- Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengqadha shalât pada perang Khandaq secara urut. Hal ini ada dalam beberapa hadis di antaranya hadis Jâbir bin Abdillâh radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ، جَاءَ يَوْمَ الخَنْدَقِ، بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي العَصْرَ، حَتَّى كَادَتِ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا» فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ، فَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا، فَصَلَّى العَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا المَغْرِبَ
Sesungguhnya Umar bin al-Khathâb datang pada perang Khandaq setelah terbenam matahari, lalu mulailah beliau mencela orang-orang kafir Quraisy dan berkata: Wahai Rasulullâh Aku tidak bisa shalât ashar hingga matahari hampir terbenam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Demi Allâh, aku juga belum shalât ashar. Lalu kami pergi ke Buthhaan lalu beliau berwudhu untuk shalât dan kami pun berwudhu. Lalu beliau shalât ashar setelah terbenam matahari kemudian shalât maghrib setelahnya. (HR. al-Bukhâri).
Demikian juga hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
شَغَلَنَا الْمُشْرِكُونَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ، عَنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ، حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ، وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ فِي الْقِتَالِ مَا نَزَلَ فَأَنْزَلَ اللهُ {وَكَفَى اللهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ} [الأحزاب: 25]، وَأَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِلَالًا فَأَذَّنَ لِلظُّهْرِ فَصَلَّاهَا فِي وَقْتِهَا، ثُمَّ أَذَّنَ لِلْعَصْرِ، فَصَلَّاهَا فِي وَقْتِهَا، ثُمَّ أَذَّنَ لِلْمَغْرِبِ فَصَلَّاهَا فِي وَقْتِهَا “
Kaum Musyrikin menyibukkan kami pada perang Khandaq dari shalât zuhur hingga terbenam matahari, hal itu sebelum turunnya ayat-ayat peperangan, lalu Allâh subhanahu wata’alaa turunkan firmannya yang artinya: “Dan Allâh menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan”.(QS. al-Ahzab/33: 25). Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Bilal lalu azan buntu zuhur dan melakukannya di waktunya kemudian azan ashar lalu melakukan shalât di waktunya kemudian azan magrib dan melakukannya di waktunya. (HR. an-Nasâ’i 2/17 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahih Sunan an-Nasâ’i).
Hadis-hadis ini menunjukkan kewajiban urut dalam menunaikan shalât yang di qadha.
- Hadis Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي} [طه: 14]
Siapa yang lupa shalât maka hendaknya shalât ketika ingat, tidak ada kafarah (penebus) baginya kecuali itu. Allah berfirman yang artinya: “dan dirikanlah shalât untuk mengingat Aku”.(QS. Thaha/20: 14). (Muttafaqun ‘alaihi).
Dalam hadis ini menunjukkan waktunya mengqadha shalât karena lupa adalah ketika ingat. Apabila ingat shalât yang tertinggal karena lupa maka harus langsung dikerjakan dan tidak boleh mengerjakan shalât lainnya walaupun itu adalah waktu bagi shalât lainnya. Hal ini menunjukkan kewajiban melaksanakan shalât qadha secara urut sebelum shalât yang ada di waktu tersebut.
- Analogi dengan shalât jamak. Sebagaimana diwajibkan urut dalam menjamak shalât maka shalât yang diqadha juga wajib urut dengan kesamaan semua adalah shalât yang memiliki waktu dan urutan tertentu.
Pendapat kedua: urut dalam pelaksanaannya hukumnya sunah. Inilah pendapat mazhab asy-Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 3/70).
Di antara dalil pendapat ini adalah:
- Hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ: «شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى، صَلَاةِ الْعَصْرِ، مَلَأَ اللهُ بُيُوتَهُمْ وَقُبُورَهُمْ نَارًا»، ثُمَّ صَلَّاهَا بَيْنَ الْعِشَاءَيْنِ، بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda pada perang Ahzab: mereka telah menyibukkan kita dari shalât wustho, shalât ashar. Semoga Allah memenuhkan rumah-rumah dan kuburan mereka dengan api. Kemudian beliau melaksanakan shalât ashar antara dua isya; antara magrib dan isya’ (HR. Muslim).
Tampak dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalât ashar setelah shalât magrib sehingga menunjukkan ketidakwajiban urut dalam pelaksanaan shalât qadha.
- Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
عَرَّسْنَا مَعَ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ نَسْتَيْقِظْ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لِيَأْخُذْ كُلُّ رَجُلٍ بِرَأْسِ رَاحِلَتِهِ، فَإِنَّ هَذَا مَنْزِلٌ حَضَرَنَا فِيهِ الشَّيْطَانُ»، قَالَ: فَفَعَلْنَا، ثُمَّ دَعَا بِالْمَاءِ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ صَلَّى سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَصَلَّى الْغَدَاةَ
Kami beristirahat di akhir malam dalam perjalanan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kami tidak bangun hingga matahari terbit. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Hendaknya setiap orang memegang kepala ontanya (untuk pergi), karena ini adalah tempat tinggal setan. Lalu kami melakukannya kemudian beliau meminta air dan berwudhu kemudian shalât dua rakaat kemudian diiqamatkan shalât lalu beliau shalât subuh. (HR. Muslim).
- Shalât-shalât yang diqadha adalah hutang sehingga tidak wajib urut dalam pelaksanaannya kecuali dengan dalil dan di sini tidak ada dalil tegas untuk itu. (lihat al-Majmu’ 3/71).
- Analogi dengan qadha puasa. Ibnu Abdilbarr rahimahullah menjelaskan hal ini: urut dalam pelaksanaan shalât hanyalah diwajibkan pada hari dan waktunya saja, sebagaimana diwajibkannya urut hari-hari Ramadhan dalam bulan Ramadhan tidak pada selainnya. Apabila waktunya telah keluar maka gugurlah kewajiban urut tersebut. Tidakkah anda melihat Ramadhan diwajibkan urut dan sesuai waktunya. apabila telah berlalu Ramadhan maka tidak wajib urut (dalam pelaksanaan qadhanya) dan tidak wajib orang yang punya hutang puasa karena sakit atau safar kecuali sesuai hitungan harinya? Demikian juga orang yang berhutang puasa Ramadhan lalu belum mengganti puasanya hingga masuk Ramadhan setelahnya, maka dia berpuasa Ramadan tahun tersebut kemudian berpuasa hari-hari yang belum diqadha dari awal setelah bulan Ramadhan tersebut dan tidak mengulanginya. Ini adalah ijmak kaum muslimin (al-Istidzkâr 1/116-117).
Sebab Perbedaan Pendapat Ini
Ibnu Rusyd menyebutkan sebab perbedaan pendapat ini kembali kepada dua hal:
- Perbedaan hadis-hadis yang ada dalam masalah ini.
- Perbedaan dalam penyerupaan qadha dengan ada’ (pelaksanaan di waktunya).
Beliau menjelaskan pengaruh perbedaan ini dengan menyatakan: Siapa yang memandang urut dalam pelaksanaan pada waktunya (ada’) diwajibkan hanya karena waktu-waktunya yang khusus untuk shalât tersebut. Waktu ini jelas urut secara sendiri, sebab zaman atau waktu itu tidak masuk akal kecuali berurutan, maka hal ini tidak masuk qadha padanya (qadha tidak sama dengan ada’ (pen)), karena qadha tidak punya waktu khusus. Siapa yang memandang urut dalam shalât yang dilaksanakan pada waktunya adalah pada perbuatannya, walaupun waktunya satu, seperti menjamak dua shalât dan dalam salah satu waktunya, maka menyerupakan qadha dengan ada’ (pelaksanaan pada waktunya) (Bidayatul Mujtahidin 1/219).
Tarjih:
Syeikh al-Kanhâl rahimahullah menyatakan bahwa ada di dalam hal ini masalah yang sangat berpengaruh dalam mentarjih pendapat-pendapat dalam permasalahan ini yaitu dasar pokok hukum dalam masalah ini bersama salah satu dari dua kelompok di atas. Tampak di awalnya dasar pokok masalah ini bersama pendapat yang tidak mewajibkan urut dalam pelaksanaan shalât yang diqadha. Itulah yang diisyaratkan dalam sandaran pendapat ini dengan meminta dalil tentang kewajibannya, sebab orang yang berpegang kepada dasar pokok cukup membantah dalil orang yang menyelisihinya agar selamat tetap pada hukum asalnya.
Akan tetapi dengan menelaah masalah ini akan tampak –wallahu a’lam- dasar hukum dalam masalah ini ada bersama pendapat yang mewajibkannya. Hal ini karena shalât-shalât tersebut diwajibkan secara berurut dan urutannya mengikat setiap shalât dilakukan pada waktu yang khusus, apabila bersatu dalam satu waktu karena uzur. Sehingga tidak ada dalil yang menggugurkan keharusan urut di antara shalat-shalat tersebut, karena hukum asalnya adalah demikian (lihat at-Tartib Fil-Ibadaat 1/324).
Melihat kepada dalil pendapat mayoritas ulama tampaknya pendapat yang mewajibkan inilah yang rajih, karena memang itulah hukum asalnya wajib urut dan dalil-dalilnya kuat seperti hadis Anas dan Ibnu Umar di atas serta ditambah kesepakatan para ulama tentang pensyariatan pelaksanaan shalat qadha secara urut.
Wallahu ‘alam.