Perseroan Syirkah Sesuai Syariah

Oleh: Nurcholis Majid Ahmad, Lc.

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang ditandai dengan berkembangannya sains dan teknologi, perkembangan kegiatan ekonomi dengan beragam bentuk dan macamnya turut mewarnai perkembangan dunia bisnis. Bentuk-bentuk transaksi bisnis dan kegiatan ekonomi berkembang cepat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.

Transaksi bisnis kontemporer yang berkembang tidak hanya dilakukan oleh perorangan, namun juga oleh berbagai kelompok usaha yang bergabung dalam badan hukum usaha (syirkah) tertentu, seperti Perseroan Terbatas, CV, Firma, Koperasi, dan sebagainya. Berbagai badan hukum inilah yang mewarnai ragam perusahaan yang ada sekarang. 

Melihat begitu beragamnya transaksi bisnis serta organisasi atau kelompok usaha yang mengelola transaksi bisnis tersebut, maka adalah suatu keharusan bagi kaum Muslimin untuk mengkaji bagaimana bentuk transaksi bisnis dan badan hukum menurut sisi syari’at Islam? Hal ini penting mengingat aktivitas seorang Muslim harus selalu terikat dengan aturan Allah subhanahu wata’alaa sebagai wujud bukti keimanannya dan dalam rangka menyiapkan kehidupannya di Akhirat. Pengkajian ini juga penting untuk melihat sejauh mana peranan syariat Islam dalam menjawab perkembangan zaman khususnya perkembangan transaksi bisnis.

Dalam dunia bisnis, jika seseorang memiliki modal dan kemampuan usaha maka orang tersebut kemungkinan besar akan mengembangkan uangnya sendiri. Namun bila tidak, maka ia bisa bekerja sama dengan orang lain yang mampu berusaha. Dan jika modalnya kurang, ia bisa bekerjasama dengan orang lain lagi untuk menambah modal. Sementara orang yang punya keahlian atau kemampuan serta kesempatan untuk berusaha, tapi tidak memiliki dana, atau kemampuan yang dimilikinya masih kurang, maka ia bisa bekerjasama dengan orang lain yang memiliki dana atau keahlian. Inilah kerjasama (syirkah), baik menyangkut keahlian maupun dana, dalam berusaha meraih atau mengembangkan harta.

Bentuk-bentuk kerjasama dan tata caranya, diatur dalam bab syirkah. Dalam beberapa literatur kita ketahui bahwa bentuk perseroan (syirkah) itu ada berbagai macam. Pada makalah ini, akan kami coba sajikan secara umum bagaimana bentuk-bentuk perseroan (syirkah) menurut Islam. Hal ini penting agar kita dapat menilai bagaimana kedudukan badan hukum usaha (perseroan) yang ada selama ini. Apakah sesuai dengan prinsip-prinsip perseroan di dalam Islam atau tidak? Jika telah sesuai maka tentunya kita dapat memanfaatkannya dalam kegiatan bisnis. Jika tidak sesuai, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita menghindarinya? Atau kita lakukan perubahan agar sesuai dengan prinsip-prinsip perseroan dalam Islam?

Defenisi dan Dasar Hukum Perseroan (Syirkah) dalam Islam

Syirkah dari segi bahasa adalah (al-ikhtilath) yaitu penggabungan dua harta atau lebih menjadi satu bagian utuh (Fathul qodir 5/2). Sedang menurut Istilah syari’, makna syirkah adalah hak kepemilikan suatu hal (yaitu kerjasama dalam usaha atau sekedar kepemilikan suatu benda) oleh dua orang atau lebih sesuai persentase tertentu (Mugni Muhtaj 2/211).

Hukum melakukan syirkah adalah mubah, dengan dalil dari Alquran dan As-sunnah serta Ijma’.

Dasar dari al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala

فهم شركاء في الثلث [النساء:12/4]

“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. an-Nisa’: 12).

Dalam ayat tersebut Allah taala menerangkan bahwa saudara seibu jika lebih dari satu maka mereka bersekutu dalam kepemilikan sepertiga harta warisan (pen-dengan syarat-syarat yang telah ditentukan).

Adapun dasar dari Sunnah

Dalam syirkah ada keberkahan dari Allah Ta’ala dalam bentuk perlindungan dan kemudahan dalam menjalankan usaha selama tidak terjadi penghianatan.

ففي الحديث القدسي فيما يروى عن أبي هريرة رفعه إلى النبي صلّى الله عليه وسلم قال: إن الله عز وجل يقول: «أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه، فإذا خانه خرجت من بينهما» رواه أبو داود 

Dalam hadis qudsi, sebagaimana yang diriwayatkan oleh abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: sesungguhnya Allah azza wa jalla berkata: “Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang di antara mereka tidak berkhianat kepada peseronya. Apabila di antara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi).” (Hadis ini dicacatkan oleh ibnu Qothon dengan adanya rowi majhululhal benama Said bin Hibban adapun ibnu Hibban memasukannya dalam daftar tsiqot. Adapun al-Albani mendhoifkan hadis tersebut dalam Ta’liq Sunan abu Dawud halm.609 hadis no. 3383. Hadis serupa diriwayatkan oleh abu Qosim al-Ashbahani dalam Targhib wa Tarhib. Lihat Nailul Author 5/264).

Syirkah bisa dilakukan sesama muslim, dan juga bersama orang kafir.

عن عبد الله بن عمر أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- عامل أهل خيبر بشطر ما خرج منها من زرع أو ثمر  . رواه مسلم وأبو داود

“Rasulullah telah mempekerjakan penduduk Khaibar (orang-orang Yahudi) dengan mendapat bagian dari hasil panen tanaman dan buah.” (HR. Muslim 5/ 1551 abu Dawud No.3406 bab Musaqoh hadis ini dishohihkan oleh al-Albani).

Dalil ketiga adalah ijma’ yakni ulama kaum muslimin telah bersepakat tentang diperbolehkannya syirkah (perseroan), namun mereka berikhtilaf dalam beberapa macam jenis syirkah (al-Mugni 5/1).

Macam-macam Syirkah

Syirkah menurut jumhur ulama dibagi menjadi dua jenis yaitu syirkatul amlak dan syirkatul uqud.

  1. Syirkatul amlak yaitu kepemilikan barang secara kolektif. Yakni kepemilikan suatu barang yang terdiri dari dua orang atau lebih.

Dalam syirkah amlak ada dua macam bentuk yaitu (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu 4/793):

  1. Syirkah ikhtiyar; yaitu suatu persyarikatan dalam kepemilikan barang yang terjadi atas perbuatan dua orang atu lebih, sebagai contoh; ada dua orang atau lebih yang berpatungan membeli suatu barang tertentu, maka kepemilikan tersebut sesuai persentase modal. Atau juga contoh lain misalkan; ada dua orang yang diberi wasiat atau hadiah sebuah barang, kemudian mereka terima, maka kedua orang tersebut memiliki bagian dari harta maupun barang tersebut. Syirkah ini dinamakan ikhtiyar karena setiap pihak mempunyai pilihan dalam menentukan kepemilikan perseroan. 
  2.  Syirkah jabr; yaitu suatu persyarikatan dalam memiliki sebuah barang tanpa ada usaha dari semua pihak, sebagaimana dalam harta warisan yang didapat jika ada dua pewaris atau lebih.

Maka hukum dua macam syarikat ini adalah: tidak diperbolehkan salah satu pihak peseroan untuk menggunkan atau memanfaatkan barang tersebut tanpa izin dari semua pihak yang terkait dalam persyarikatan (al-Badai’ as-Shonai’ 6/65 al-Mabsut 11/151).

  1. Syirkatul uqud

Syirkatul uqud adalah suatu aqad di antara dua orang atau lebih, yang bersepakat untuk berserikat dalam modal atau melakukan kerjasama usaha dengan tujuan mencari keuntungan (al-Fiqh ala Madzahib Arba’ 3/83).

Dari pengertian syirkatul uqud di atas dan dengan melihat berbagai macam bentuk kerjasama usaha perseroan (syirkah), maka menurut syariah Islam bahwa perseroan ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa klompok yaitu: syirkah bil amwal (perseroan dalam modal), syirkah bil a’mal (perseroan dalam pekerjaan), syirkah wujuh (perseroan dalam hal kedudukan).

Untuk lebih jelasnya mari kita simak keterangan di bawah ini.

  1. Syirkah bil amwal (perseroan dalam modal).

Perseroan ini bertumpu pada modal bersama untuk melakukan sebuah usaha guna menghasilkan keuntungan. Syirkah semacam ini ada dua bentuk yaitu:

  1. Syirkatul inan

Syirkah inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih di mana masing-masing membawa dana sebagai modal dan keahlian (badan) masing-masing dalam sebuah usaha. Modal utama dalam usaha ini adalah uang dan tenaga/keahlian. Jenis syirkah ini merupakan syirkah yang disepakati ulama tentang keabsahan hukumnya.

Dalam syirkah ini bila terdapat barang sebagai modal yang disertakan, maka harus lebih dulu dihitung nilainya sebelum aqad syirkah berlangsung. Modal atau barang modal dari berbagai pihak yang bersyirkah tidak harus sama jumlahnya atau sama nilainya. Syirkah inan dibangun di atas prinsip wakalah (perwakilan) dan amanah (kepercayaan). Karena masing-masing syarik (pesero) telah memberikan kepercayaan dan izin untuk mengelola dana dalam usaha yang disepakati tersebut. Bila telah berlangsung aqad, masing-masing pihak yang berserikat (syarik) harus terjun langsung, karena syirkah ini melibatkan badan (diri) mereka. Maka tidak boleh seorang syarik mewakilkan pada orang lain. Akan tetapi diperbolehkan atas kesepakatan semua pihak untuk menggaji seseorang untuk mengelola usaha itu sebagai ajiir (pegawai) perusahaan, bukan pegawai salah seorang syarik.

Pembagian laba tergantung kesepakatan bukan atas badan karena badan tidak menanggung kerugian harta selain kerugian tenaga yang telah dikeluarkan. Bila nilai uang yang disetor sama, kerugian ditanggung bersama secara merata. Hal ini sesuai kaidah fiqhiyah.

قاعدة: الربح على ما شرطا، والوضيعة على قدر المالين

“Laba itu tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama. Sedang kerugian ditanggung masing-masing pihak berdasarkan nilai modal (uang).” (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu 4/797)

  1. Syirkatul mufawadhoh

Perseroan ini secara bahasa adalah al-Musawah; yaitu persamaan. Dinamakan demikian karena perserikatan ini harus sama dalam modal, keuntungan, kerugian, dan tenaga/keahlian. Adapun syirkah mufawadhoh artinya adalah ada dua orang atau lebih yang bersyirkah untuk usaha bersama dengan syarat untuk setiap persero mengeluarkan modal, tenaga/keahlian serta agama yang sama dan kemudian keuntungan maupun kerugian dibagi dengan sama pula. Jenis syirkah ini menurut Hanafiyah dan Zaidiyyah bahwa setiap syarik (persero) dan melakukan keputusan/kebijakan sesuai kebutuhan tanpa harus meminta pertimbangan pihak persero lainnya. Adapun menurut Malikiyah hal semacam ini disebut syirkatul inan. Sedangkan Malikiyah memberikan syarat untuk syirkah mufawadhoh bahwa tashoruf kebijakan yang diambil setiap persero harus seizin pihak syarik lainnya.

Maka Imam Syafii menyikapi pendapat Hanafiyyah dan Zaidiyah bahwa setiap syarik boleh mengambil kebijakan dalam modal bersama tanpa seizin syariknya dengan berkata: 

إن لم تكن شركة المفاوضة باطلة، فلا باطل أعرفه في الدنيا

Jika syirkah mufawadhoh (yang seperti ini) tidak bathil, maka tidak ada hal bathil lagi yang ku ketahui di dunia.

Adapun ulama Hanabilah memandang syirkah mufawadhoh yang berarti persamaan dalam modal, kerja, perwakilan, untung, dan rugi adalah diperbolehkan (al-Mughni 5/26).

Yang rajih -wallahu a’lam- adalah pendapat jumhur yaitu dalam syirkah mufawadoh setiap syarik harus meminta pendapat dan keridoan bersama syarik yang lain dalam thasoruf mal/kebijakan dalam bisnisnya agar tidak ada gharar dan jahalah (penipuan) (lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu 4/799-802).

  1. Syirkah bil a’maal/abdan (persyarikatan pada tenaga/keahlian).

Syirkah ini berpijak pada badan (tenaga) atau keahlian dalam usaha sebagai modal utama. Misalnya dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam jasa memanen padi atau mengangkat sebuah barang atau membuat perkakas rumah tangga, dsb. Dalam hal ini menurut jumhur ulama tidak disyaratkan kepada setiap persero untuk sepadan dalam tenaga maupun keahlian. Adapun keuntungan maka dibagi sesuai kesepakatan bersama. Hal ini sah menurut jumhur ulama walaupun kemampuan masing-masing persero tidak sama. Ulama yang membolehkan adalah dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyah, Hanabilah, serta Zaidiyyah (Badai’ Shonai’ 6/57. Fathul qodir 5/28, al-Mabsuth 11/154-155, Roddul Mukhtar 3/380, al-Mughni 5/3, Bidayatul Mujtahid 2/252). Dalil mereka adalah

قال ابن مسعود: اشتركت أنا وعمار وسعد يوم بدر، فأصاب سعد أسيرين. ولم أصب أنا وعمار شيئاً، فلم ينكر النبي صلّى الله عليه وسلم علينا

Berkata Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu: “aku bersyerikat dengan Ammar dan sa’ad di perang badar (atas hasil rampasan), maka sa’ad berhasil menawan dua tawanan sedangkan aku dan ammar tidak mendapatkan sesuatupun(maka kami bagi bertiga), dan Nabi shalallahu alaihi wasalam tidak mengingkari perbuatan kami. (HR. Abu Dawud dan Nasai’ no. 4697. dari hadis abu Ubaidah dari Abdullah bin Masud. Hadis ini dilemahkan oleh Nashiruddin al-Albani dalam Ta’liq Sunan Nasai’)

Menurut ibnu Taymiyyah hadis ini merupakan hujjah untuk syirkatul abdan (lihat Nailul Awthor 5/265). Sedangkan menurut Syafiiyyah, Imamiyyah, dan Zufar; bahwa syirkatul abdan ini hukumnya bathil dikarenakan modal tenaga atau keahlian itu tidak dapat diukur secara pasti kadarnya, beda halnya dengan harta yang memiliki kejelasan dan mudah untuk ditentukan persentase modal dari kedua pihak. Maka di situ terdapat gharar (penipuan) (lihat Fathul Qodir 5/31 dan Mugni Muhtaj 2/212).

Yang rajih –wallahu a’lam- adalah pendapat jumhur, yang mana gharar dengan sebab jahalah (ketidakjelasan modal tenaga) tersebut sangat tipis sehingga tidak mempengaruhi hukum. Dan juga karena jumhur memandang jahalah yang tipis itu akan diatasi dengan syarat-syarat yang disepakati bersama.

المسلمون على شروطهم

“Kaum Muslimin berpegangan dengan syarat yang telah mereka tentukan”. 

  1. Syirkatul wujuh (perserikatan dalam hal kedudukan).

Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua orang atau lebih dengan modal meminjam dari pihak luar dikarenakan kedudukan mereka di masyarakat serta kepercayaan orang yang dipinjam hartanya.

Artinya, dengan kedudukan itu para pesero memperoleh pinjaman lunak berupa barang sebagai modal untuk dijual kontan kepada konsumen, sehingga dalam syirkah ini tidak ada modal harta, namun hanya saja mengandalkan kepercayaan dan kedudukan para persero sebagai modal utama.

Syirkah semacam ini dibolehkan oleh kalangan ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Zaidiyyah dengan dalil bahwa itu merupakan syirkah tadhomun (penanggungan) wa taukil (perwakilan) yaitu setiap persero dan mengklaim barang yang ia tanggung dari hasil pinjaman tersebut dan juga dapat mewakilkan kepada syariknya untuk melakukan pembelian dan penjualan. Alasan lain adalah perbuatan ini telah lama dilakukan kaum muslimin dari masa ke masa dan tidak terdengar satu pun ulama yang melarangnya. Ringkas kata bahwa hasil kesepakatan dari para syarik merupakan suatu bentuk amal (tenaga) dalam usaha bersama. Sehingga menurut mereka hal yang demikian diperbolehkan (Ghoyatul Muntaha 2/180 al-Mugni 5/12 al-Badai’ as-Shonai’ 6/57 Fathul Qodir 5/30 al-Mabsut 11/154).

Pendapat kedua adalah pendapat ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafiiyah, Dhohiriyyah, Imamiyah, dan juga abu Tsaur; yaitu mereka mengatakan bahwa syirkatul wujuh adalah bathil dikarenakan menurut mereka bahwa syirkah terdapat pada harta dan tenaga (badan) sehingga mereka menilai bahwa syirkatul wujuh bukan salah satu dari kedua hal tersebut (Bidayatul Mujtahid 2/252 Mugni Muhtaj 2/212 al-Khurosy 6/55).

Maka atas dasar pendapat pertama di atas dapat kita simpulkan bahwa syirkatul wujuh akan menghasilkan kejelasan bagian yang dimiliki oleh setiap persero dari sebuah barang hutangan tersebut(sebagai modal). sehingga keuntungan atau kerugian akan dibagi sesuai prosentase bagian yang mereka Tanggung bila terjadi kerugian. Ini semua dikarenakan setiap persero sebagai dhomin (penanggung) dari bagian yang telah disepakati (al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu 4/802).

  1. Syirkah mudharabah

Syirkah mudharabah disebut juga qiradh. Dan ini adalah gabungan dari syirkatul amwal dari salah satu pihak dan syirkatul abdan dari pihak kedua. Sebagi contoh adalah syirkah antara dua orang atau lebih, di mana yang satu pihak membawa harta/modal (syarik al-mal) sedang yang lain membawa badan (tenaga, keahlian, pemikiran)nya sebagai syarik al-badn atau mudharib. Dengan kata lain, syarik al-mal memberikan harta kepada syarik al-badn sebagai modal usaha. Syirkah seperti ini mubah hukumnya. Abbas bin Abdul Muthalib pernah memberikan modal mudharabah, dan dia memberikan syarat-syarat tertentu kepada pengelola, kemudian hal itu sampai kepada Nabi. Dan beliau membenarkan. Ijma’ shahabat juga membenarkan syirkah semacam ini. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah memberikan harta kepada anak yatim dengan cara mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari harta tersebut, lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh al-Fadlal. Keuntungan dalam syirkah mudharabah dibagi sesuai kesepakatan. Sedang kerugian dibagi sesuai ketentuan syara’. Yakni syarik al-mal menanggung kerugian harta (modal usaha), sementara syarik al-badn menanggung kerugian waktu, tenaga, keahlian, dan pemikiran yang telah dicurahkan dalam usaha tersebut tanpa memperoleh hasil apa-apa. Syirkah ini statusnya sama dengan aqad wakalah (perwakilan), di mana orang yang menjadi wakil tidak bisa menanggung kerugian yang timbul. Kerugian sepenuhnya ditanggung oleh yang mewakilkan, sepanjang kerugian itu terjadi sebagai sesuatu yang memang harus terjadi. Bukan karena kesengajaan atau kecerobohan syarik al-badn.

Modal atau dana dalam syirkah mudharabah harus diserahkan syarik al-mal sepenuhnya kepada syarik al-badn. Aqad syirkah dibuat atas dasar kepercayaan dan amanah. Maka syarik al-mal harus mempercayakan sepenuhnya kepada syarik al-badn dalam mengelola usaha tersebut sesuai batasan-batasan yang telah ditentukan atau disepakati ketika aqad itu dibuat. Termasuk dalam pengertian syirkah mudharabah, bila terdapat dua orang atau lebih syarik al-mal, lantas bersepakat mereka untuk menyerahkan pengelolaan usaha tersebut kepada salah seorang dari mereka dengan batasan dan ketentuan yang disepakati. Dengan demikian akan ada satu pihak yang menjadi syarik al-mal sekaligus sebagai mudharib atau syarik al-badn. 

Prinsip-prinsip Pokok Syirkah

Dengan memperhatikan berbagai macam bentuk syirkah di dalam Islam, maka terdapat prinsip-prinsip penting yang harus selalu ada:

1. Untuk jenis syirkah amwal maka modal harus kontan dan tidak boleh dihutang atau dalam kondisi tidak di tempat (ghoib) karena tujuan syirkah ini adalah dalam rangka mencari keuntungan dengan usaha, maka tentu hal tersebut tidak akan terjadi jika modal belum diberikan (al-Badai’ as-Shonai’ 6/59). Dan memungkinkan terjadinya sengketa bila modal masih dihutang/belum diserahkan pekerja sedangkan ia telah mengerahkan tenaga dan fikiran dalam suatu bisnis. 

2. Pembentukan dan pengembangan syirkah harus sepersetujuan seluruh pihak yang terlibat. Jika sebuah syirkah telah terbentuk dan ada pihak lain yang ingin bergabung ke dalam syirkah tersebut, maka masuknya orang baru haruslah sepersetujuan anggota syirkah yang lama.

3. Penghentian syirkah. Syirkah berdiri atas dasar kerelaan (ridha), kepercayaan, dan amanah. Sebagaimana aqad dalam masalah lain, aqad syirkah bisa dibubarkan bila salah satu pihak membatalkan aqad. Atau karena salah satu pihak meninggal atau gila. Bila salah seorang syarik meninggal, ahli warisnya yang telah dewasa bisa melanjutkan syirkah tersebut ini menurut pendapat Hanafiyah. 

Bila salah satu dari dua orang yang bersyirkah menghendaki pembubaran, pihak lain harus memenuhi permintaan itu. Tapi bila banyak orang bersyirkah, salah seorang meminta pembubaran, sementara yang lain tidak, maka syirkah dibubarkan lebih dulu kemudian diperbarui di antara syarik yang masih ingin terus bekerjasama. Dalam syirkah mudharabah, bila mudharib (syarik al-badn) menghendaki penjualan agar didapat keuntungan, sedang yang lain tidak, maka keinginan mudharib harus dipenuhi karena keuntungan adalah haknya, sedang untuk mendapatkannya harus dilakukan penjualan terlebih dulu.

4. Pembagian keuntungan dan tanggungan kerugian. Keuntungan yang diperoleh haruslah dibagi sesuai dengan kesepakatan yang ada di awal aqad sesuai dengan persentase yang disepakati dan harus jelas disebutkan dalam aqad, agar tidak terjadi penipuan dan persengketaan di kemudian hari. Keuntungan yang dimaksud adalah keuntungan bersih usaha setelah dikeluarkan seluruh biaya operasional usaha. Sedangkan kerugian usaha ditanggung berdasarkan besarnya modal yang disetorkan. Menurut kaidahnya adalah:

قاعدة: الربح على ما شرطا، والوضيعة على قدر المالين

Laba itu tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama. Sedang kerugian ditanggung masing-masing pihak berdasarkan nilai modal (uang)”. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu 4/797).

Dengan kita mengkaji bagaimana syariat Islam mengatur syirkah, maka kita dapat menilai bahwa pembentukan syirkah (perseroan) dengan model sistem kapitalis yaitu dengan mementingkan keuntungan pemilik modal belaka merupakan suatu hal yang bertentangan dengan syariat Islam sehingga harus dilakukan perbaikan atau perubahan agar sesuai dengan syariat yang Allah ta’ala turunkan. Wallahu a’lam bissowab.

 Referensi

  1. Al-Qura’an al-Karim
  2. Shohih Muslim Syarh Imam Nawawi. Cetakan ke empat, tahun 1422H/2001M, penerbit Darul Hadits, Mesir
  3. Sunan Abu Dawud, karya Abu Dawud Sulaiman as-Sijistani, tahqiq: Muhammad Nasiruddin al-Albani, cetakan kedua, tahun 1427H/2007M, penerbit Maktabah al-Maarif, Riyadl-KSA
  4. Sunan Nasai’ al-Mujtaba Minas Sunan, Ahmad bin Syuain an-Nasai’, tahqiq: Abdul Fattah Ghudh, cetakan kedua, tahun 1406H, penerbit Maktabah Islamiyah
  5. Al-Mabsut, as-Sarkhosi, cetakan kedua, penerbit Matbaah as-Sa’adah, Mesir
  6. Al-Badai’ as-Shonai’, Abu Bakar Mas’ud bin Ahmad al-Kasani, cetakan pertama, tahun 1338H, Penerbit al-Jamaliyah, Mesir
  7. Hasiyah Roddul Muhtar li ibnu Abidin ala Daril Muhtar, al-Hashfaki, tahun 1966M penerbit al-Baaby al-Halaby, Mesir
  8. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusd al-Hafiid, penerbit al-Istiqomah, mesir.
  9. Mugni Al Muhtaj Ila Ma’rifati Maani Alfadz al-Minhaj, al-Khotib as-Syarbiini, penerbit al-Baaby al-Halaby, Mesir
  10. Al-Mugni, ibnu Qudamah al-Maqdisi, Cetakan ketiga, penerbit Dar al-Manaroh, Mesir
  11. Al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Azzuhaily, cetakan kedua, Tahun 1405H/1985M, penerbit: Darul Fikr, Damaskus

Leave a Reply