Ibadah Orang Buta

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Makalah ini diringkas dari tesis Syekh Muhammad Umar Shaghir yang berjudul: Ahkaam al-A’maa fi al-Fiqh al-Islami, diajukan sebagai syarat mendapatkan gelar magister di Fakultas Syari’at di Universitas Ummul Qura’ Makkah.

Islam sebagai agama yang penuh dengan rahmat kepada alam semesta memberikan perhatian besar terhadap semua jenis individu masyarakat. Perhatian ini mencakup orang-orang yang Allah uji dengan cacat pada anggota tubuhnya, seperti buta. Bentuk perhatian ini dengan perintah bersabar dan pahala besar menanti mereka yang sabar, seperti dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

قَالُوٓا۟ أَءِنَّكَ لَأَنتَ يُوسُفُ ۖ قَالَ أَنَا۠ يُوسُفُ وَهَـٰذَآ أَخِى ۖ قَدْ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَيْنَآ ۖ إِنَّهُۥ مَن يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ ٱلْمُحْسِنِينَ 

Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf 12:90)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan perhatian Islam terhadap orang buta dengan menyampaikan sabdanya dalam hadis qudsi:

يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ أَذْهَبْتُ حَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ وَاحْتَسَبَ لَمْ أَرْضَ لَهُ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ

Allah berfirman: “Siapa yang Aku hilangkan kedua matanya lalu bersabar dan mengharap pahala, maka aku tidak ridha memberikan pahala kepadanya selain surga.” (HR at-Tirmidzi no. 2325 dan dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Shahih at-Targhib Wa at-Tarhib)

Sedangkan dalam riwayat al-Bukhori berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ قَالَ إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِي بِحَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah berfirman: apabila Aku menimpakan kebutaan kepada hamba-Ku lalu ia bersabar maka aku gantikan kedua matanya dengan surga.” (HR. al-Bukhori no. 5221)

Al-Haafizh Ibnu Hajar menjelaskan hadis ini dengan menyatakan: “Ini adalah imbalan yang teragung, karena merasakan kelezatan dengan mata akan hilang dengan hilangnya dunia dan merasakan kelezatan surga akan kekal selama-lamanya. Memang indra mata adalah indra yang paling dicintai manusia. Dengan kehilangan keduanya sangat membuat duka karena tidak dapat melihat semua yang diinginkannya berupa kebaikan yang menyenangkannya atau keburukan yang dia dapat jauhi, sehingga bersabar atas kehilangannya adalah sangat berat sekali.” (Manaarul Qaari Syarh Mukhtashar Shahihil Bukhori, Hamzah Muhammad Qaasim 5/201)

Demikian besarnya perhatian Islam terhadap orang buta, lalu bagaimana mereka beribadah? Apakah hukum-hukumnya sama dengan yang tidak buta?

Orang Buta dalam Ibadah

Pada asalnya orang buta beribadah dalam ibadah mahdhah sama dengan orang-orang yang dapat melihat. Namun ada beberapa hukum praktis dalam ibadah praktis yang disampaikan para ulama khusus untuk orang buta, di antaranya:

Berhubungan dengan thaharah (bersuci).

  1. Apabila akan menggunakan air lalu ada seorang memberitahukannya bahwa airnya sudah terkena najis, maka ia harus menerima berita tersebut dengan syarat ada penjelasan sebab najisnya dan tidak berijtihad sendiri. Inilah pendapat mayoritas ulama.
  1. Apabila ada dua bejana salah satunya najis dan yang lainnya suci, lalu orang buta tersebut bingung mana yang najis dan mana yang suci? Apabila ia akan sholat diperbolehkan ijtihad dan bersuci berdasarkan praduga kuat (ghalabatuzh-zhon) dengan cara menggunakan indera lain yang masih berfungsi darinya. Inilah pendapat yang rajih dari tiga pendapat para ulama. Pendapat ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Bila bingung memilih bejana yang suci, karena ada dua bejana yang satu suci dan yang lainnya najis, maka diperbolehkan orang buta untuk berijtihad dan berusaha memilih dengan sarana dan indera yang dimilikinya.
  1. Apabila orang buta bingung memilih pakaian yang akan dikenakannya antara yang suci dan yang najis, maka ia berijtihad dan berusaha memilih dengan semampunya lalu shalat dengan menggunakan pakaian yang dianggapnya suci tersebut. Inilah pendapat mayoritas ulama. Hal ini dibolehkan karena ia telah berbuat sesuai kemampuannya dan Allah berfirman:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah 2:286)

Berhubungan dengan waktu ibadah.

Ada beberapa masalah seputar mengenal waktu ibadah bagi orang buta, di antaranya:

  1. Hukum orang buta berijtihad dalam mengenal waktu shalat.

Empat mazhab fikih terkenal, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah memandang persyaratan masuknya waktu termasuk dalam keabsahan shalat. Seandainya ragu dalam masuknya waktu shalat maka jangan shalat hingga yakin masuk waktunya atau sudah dalam anggapan yang kuat (Ghalabatuzh-Zhon).

Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ menyatakan: Diwajibkan pada orang buta seperti pada orang yang melihat -ketika tidak jelasnya waktu shalat- …orang buta berijtihad seperti orang yang melihat dalam masalah waktu shalat apabila tidak ada orang tsiqah yang menyaksikan (waktu shalat) memberitahukan kepadanya masuknya waktu shalat dengan menyatakan: Aku telah melihat fajar terbit atau syafa’ telah hilang. (Apabila ada) maka tidak boleh berijtihad dan wajib melaksanakan berita tersebut. (Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 2/72-73)

Sedangkan Ibnu Qudamah al-Maqdisi menandaskan hal ini dalam pernyataan beliau: “Orang buta apabila ragu tentang masuknya waktu shalat tidak boleh shalat sampai yakin masuk waktunya atau dalam anggapan kuatnya (telah masuk).” (Al-Mughni 1/387)

Demikian juga Ibnu Najjaar dalam kitab Syarhu Muntaha al-Iradaat menyatakan: “Orang yang tidak tahu waktu sehingga tidak mengetahui apakah telah masuk waktu atau belum dan tidak bisa menyaksikan tanda-tanda masuk waktu karena kebutaan atau halangan tertentu dan tidak ada yang memberitahukan secara yakin tentang masuknya waktu shalat. Maka ia shalat apabila menganggap waktu telah masuk dengan dasar ijtihad atau mengukur waktu dengan tempo satu pekerjaan atau bacaan al-Qur’an, karena itu adalah perkara ijtihad sehingga cukup dengan anggapan kuat saja.” (Syarah Muntaha al-Iradaat 1/137)

  1. Apabila ada seorang tsiqah (kredibel) memberitahukan masuknya waktu apakah orang buta taklid kepadanya?

Demikian juga ulama mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah memandang kapan ada orang yang tsiqah memberitahukan masuknya waktu shalat dengan dasar ilmu maka wajib menerima beritanya, sebagaimana dijelaskan dalam keterangan ulama di bawah ini:

  • Imam Ibnu Abidin seorang ulama mazhab Hanafiyah menjelaskan: “Para imam kami menjelaskan diterimanya ucapan seorang yang adil (takwa) dalam masalah-masalah agama seperti berita tentang arah kiblat, thaharah, najis, halal, dan haram. Jelas bahwa berita masuknya waktu shalat termasuk ibadah sehingga diperlakukan padanya perincian ini. Seorang muazin cukup (diterima) pemberitahuannya tentang waktu shalat apabila ia seorang baligh, berakal, mengetahui waktu, muslim, lelaki, dan ucapannya dipercaya.” (Hasyiyah Raddulmuhktaar 1/370)
  • Imam Muhammad bin Muhammad al-Khothaab ar-Ra’ini seorang ulama mazhab Malikiyah dan penulis kitab Mawahib al-Jalil Syarah Mukhtashar al-Kholil menyatakan: “Diperbolehkan taklid kepada muazin yang adil (takwa) yang mengetahui waktu shalat dan menerima beritanya (tentang masuknya waktu shalat).” (Hasyiyah Raddulmuhktaar 1/286)
  • Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ juga menyatakan: “Apabila seorang memberitahukan penglihatannya dengan mengatakan: Aku melihat fajar telah terbit atau syafaq telah hilang, maka tidak boleh berijtihad dan wajib melaksanakan berita tersebut.” (Hasyiyah Raddulmuhktaar 3/70)
  • Imam Ibnu Qudamah menyatakan: “Apabila seorang tsiqah memberitahukan (waktu shalat) dengan dasar ilmu maka diamalkan.” (Al-Mughni 1/287)
  1. Orang buta berijtihad dalam mengenal waktu puasa dan berbuka puasa di bulan Ramadhan.

Orang buta diperbolehkan untuk berijtihad dan taklid kepada orang lain, karena waktu-waktu shalat dan puasa hukumnya sama dalam hal ini. Inilah yang dirojihkan Imam as-Suyuthi dan menisbatkannya kepada mazhab Syafi’iyah. (Al-Asybaah wan-Nazhaair hlm. 523)

Berhubungan dengan penentuan kiblat.

Orang yang buta diperbolehkan untuk berijtihad dalam menentukan arah kiblat dan berusaha mencarinya dengan indera yang dimilikinya lalu shalat. Inilah yang rojih dan ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah dan Hambaliyah.

Hal ini dikarenakan orang buta masih memiliki kemampuan untuk mengenal kiblat dan masih memiliki indera lain yang dapat digunakan untuk menentukan kiblatnya. Sehingga tidak harus meraba-raba tembok masjid dan mimbar, apabila kemudian shalat ke arah bukan kiblat lalu ada yang membenarkannya maka ia berputar kearah yang benar dan meneruskan sholatnya hingga sempurna. (Hasyiyah Ibnu Abidin 1/304)

Demikian juga mayoritas ulama fikih memandang orang yang tidak bisa mengenal arah kiblat karena tidak bisa belajar lantaran tidak memiliki kemampuan atau tidak ada yang mengajarinya padahal waktunya sempit atau orang buta, maka yang wajib adalah taklid (mengikuti orang lain). Dasar pendapat ini adalah firman Allah:

فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl 16:43)

Orang buta berazan dan menjadi imam shalat.

Para ulama ahli fikih memandang sahnya azan orang buta apabila ada orang yang bersamanya untuk mengingatkan dan mengarahkan orang buta tersebut tentang masuknya waktu shalat. Hal ini didasari dengan beberapa riwayat berikut ini:

  1. Hadis Ibnu Umar yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: )إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ( ثُمَّ قَالَ: وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُنَادِي حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Bilal berazan di malam hari, maka makanlah dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum berazan. Kemudian Ibnu Umar berkata: Beliau adalah seorang buta yang tidak berazan hingga disampaikan kepadanya: Hari telah subuh, hari telah subuh.” (HR. al-Bukhori no. 582)

  1. Hadis ‘Aisyah yang berbunyi:

كَانَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ يُؤَذِّنُ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ أَعْمَى.

“Ibnu Ummi Maktum berazan untuk Rasulullah dan beliau seorang yang buta.” (HR. Muslim no. 871)

Namun bila melihat perkembangan teknologi di masa kiwari ini, maka orang buta dapat berazan dengan benar dengan bantuan alat dan sarana untuk mengetahui waktu azan. Di samping itu juga banyaknya penggunaan mikrofon dari banyak masjid yang terdengar jauh bisa membantu orang buta berazan dengan benar tanpa ada orang yang mengarahkan dan memberitahukan masuknya waktu shalat. Wallahu a’lam.

Demikian juga menurut mayoritas ulama fikih, diperbolehkan seorang yang buta menjadi imam dalam shalat berjamaah, berdasarkan beberapa hadis di bawah ini:

  1. Hadis Mahmud bin ar-Rabii’ yang berbunyi:

أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى وَأَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا تَكُونُ الظُّلْمَةُ وَالسَّيْلُ وَأَنَا رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ فَصَلِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي بَيْتِي مَكَانًا أَتَّخِذُهُ مُصَلَّى فَجَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ فَأَشَارَ إِلَى مَكَانٍ مِنْ الْبَيْتِ فَصَلَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Sesungguhnya ‘Itbaan bin Maalik dulu mengimami kaumnya dalam keadaan beliau buta. Beliau berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Wahai Rasulullah sesungguhnya terjadi kegelapan dan banjir padahal saya seorang buta. Maka sholatlah wahai Rasulullah di rumahku di satu tempat yang akan aku jadikan sebagai tempat shalatku. Maka datanglah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bersabda: Di mana yang kamu sukai untuk aku sholat di sana? Lalu ‘Itban memberi isyarat ke satu tempat di rumahnya. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di sana.” (HR. al-Bukhori no. 625)

  1. Hadis ‘Aisyah yang berbunyi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَلَى الْمَدِيْنَةِ يُصَلِّي بِالنَّاسِ

“Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Ibnu Ummi Maktum untuk kota Madinah dan mengimami orang sholat.” (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya no. 2134 dan Syekh Syu’aib al-Arnauth menyatakan: sanadnya shahih sesuai syarat shahihain)

  1. Hadis Anas bin Maalik yang berbunyi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ يَؤُمُّ النَّاسَ وَهُوَ أَعْمَى

“Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Ibnu Ummi Maktum (untuk kota Madinah), mengimami orang shalat dalam keadaan buta.” (HR. Abu Daud no. 503 dan dinilai hasan shahih oleh Syekh al-Albani)

Yang rajih status imam orang buta dengan yang tidak buta sama. Inilah pendapat imam asy-Syafi’i.

Hukum sholat Jum’at bagi orang buta.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Jum’at bagi orang buta dalam dua pendapat:

  1. Sholat jum’at tidak wajib bagi orang buta walaupun mendapatkan orang yang menuntunnya baik secara sukarela ataupun dibayar. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dengan alasan orang buta tidak mampu berjalan menghadirinya dengan sendiri dan orang buta disamakan dengan orang yang sakit yang sama-sama mengalami kesulitan dan kesusahan untuk pergi menghadiri jum’atan.
  1. Sholat Jum’at diwajibkan bagi orang buta bila ada yang menuntunnya baik dengan sukarela ataupun dibayar. Inilah pendapat jumhur ulama dengan alasan orang yang buta mampu untuk berjalan sendiri. Memang ia tidak mampu pergi karena tidak mengetahui jalan. Oleh karena itu bila ada yang menuntunnya maka ia menjadi sama seperti orang yang tidak buta apabila tersesat di jalan. Juga terbukti sebagian orang buta ada yang bisa pergi menghadiri shalat Jum’at sendiri tanpa ada yang menuntunnya. Mereka bisa berjalan di pasar dengan tahu jalannya tanpa ada yang mengiringi atau menuntunnya. Mereka ini jelas diwajibkan menghadiri shalat Jum’at. Dengan demikian jelaslah yang rojih adalah pendapat jumhur ulama ini.

Hukum shalat jamaah bagi orang buta.

Pendapat para ulama yang rojih dalam masalah ini adalah kewajiban shalat jamaah bagi orang buta dengan dasar hadis Abu Hurairoh radhiyallaahu ‘anhu yang berbunyi:

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ

“Seorang buta mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salla seraya berkata: Wahai rasulullah aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid. Lalu ia memohon kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keringanan sehingga boleh shalat di rumahnya, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan. Ketika orang buta tersebut pergi, maka beliau panggil lagi dan bertanya: Apakah kamu mendengar azan? Ia menjawab: Iya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Maka penuhilah panggilan (azan) tersebut!” (HR. Muslim no. 1044)

Juga hadis Amru bin Umi Maktum radhiyallaahu ‘anhu yang berbunyi:

أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِي قَائِدٌ لَا يُلَائِمُنِي فَهَلْ لِي رُخْصَةٌ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِي قَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ نَعَمْ قَالَ لَا أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً

“Beliau bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Wahai Rasulullah aku seorang yang buta, rumahnya jauh, dan memiliki seorang penuntun yang tidak cocok untukku. Apakah aku ada keringanan untuk shalat di rumahku? Beliau bersabda: Apakah kamu mendengar azan? Maka ia menjawab: Iya. Beliau pun bersabda: Tidak ada bagimu keringanan.” (HR. Abu Daud no. 565)

Dalam riwayat Ibnu Hibbaan ada lafaz:

 فأتها ولو حبوا

“Datangilah walaupun dengan merangkak.”

Pendapat ini adalah pendapat mazhab Syafi’iyah dan Hambaliyah serta Zhahiriyah.

Orang buta berhaji.

Orang buta diwajibkan berhaji apabila memiliki perbekalan dan kendaraan serta orang yang menuntun dan menunjukkan jalannya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan yang rajih. Wallahu a’lam.

Demikianlah beberapa hukum dan masalah yang berkenaan dengan ibadah orang buta, semoga bermanfaat.

Leave a Reply