عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Biografi Sahabat
Al-Baraa’ bin ‘Aazib bernama lengkap al-Baraa’ bin ‘Aazib bin al-Haarits al-Anshari seorang sahabat yang ikut serta dalam perang uhud dan peperangan lainnya setelah itu, bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak ikut perang badar karena masih kecil dan tidak diizinkan berperang. Beliau meninggal di Kufah pada tahun 72 H.
Terjemahan Hadits
Dari al-Baraa’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.”
Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya (no. 5212), at-Tirmidzi dalam sunannya (no. 2727), Ibnu Majah dalam sunannya (no. 3703) dan Ahmad dalam al-Musnad (4/289), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dengan berbagai jalur dan pendukungnya dalam kitab Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah (no. 525).
Kosa Kata
يَلْتَقِيَانِ : berjumpa.
فَيَتَصَافَحَانِ : lalu bersalaman (berjabat tangan).
قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا : sebelum keduanya berpisah.
Pengertian Umum Hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan etika pertemuan dan keutamaan berjabat tangan ketika bertemu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan adanya pahala diampuni dosa keduanya sebelum keduanya berpisah. Oleh karena itu para ulama sepakat menganjurkan jabat tangan apabila seorang muslim bertemu dengan muslim lainnya (lihat Syarh Shahih Muslim 17/101 dan Fathul Baari 11/55), bahkan ini merupakan sunnah yang muakkad ‘sangat ditekankan’ (lihat kitab Faidhul Qadiir 5/499).
Faidah dalam Hadits
Ada beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits di atas, di antaranya:
1. Arti mushaafahah ‘berjabat tangan’ dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan kanan, dari kedua belah pihak (lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi 7/429 dan ‘Aunul Ma’bud 14/80). Cara berjabat tangan seperti inilah yang benar secara bahasa Arab, sebagaimana dijelaskan ibnu al-Manzhur dalam kitab Lisaan al-Arab. Di samping juga diterangkan dalam banyak hadits yang shahih. Adapun melakukan jabat tangan dengan dua tangan seperti banyak dilakukan kaum muslimin sekarang adalah cara yang menyelisihi pengertian yang benar tentang berjabat tangan dan juga menyelisihi sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (lihat kitab Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah 1/51-52).
2. Syeikh al-Albani menyampaikan satu masalah dalam berjabat tangan ketika berpisah. Beliau katakan bahwa ini juga termasuk sunnah hukumnya berdasarkan keumuman hadits yang berbunyi:
من تمام التحية المصافحة
“Termasuk kesempurnaan memberi salam adalah berjabat tangan.”
Hadits ini beliau katakan sanadnya baik. Hal ini juga dikuatkan dengan pensyariatan salam ketika berpisah seperti disampaikan Rasulullah dalam sabda beliau:
إذا دخل أحدكم المسجد فليسلم ، وإذا خرج فليسلم ، فليست الأولى بأحق من الأخرى
“Apabila salah seorang dari kalian masuk masjid maka ucapkanlah salam dan bila keluar maka hendaknya mengucapkan salam. Tidaklah yang pertama lebih pantas dari yang lain.”
Hadits ini pun dinilai syeikh al-Albani sebagai hadits hasan. Karena itu pendapat yang mengatakan bid’ahnya berjabat tangan ketika berpisah tidak pas. Meskipun jelas anjuran berjabat tangan ketika berpisah tidak sekuat anjuran berjabat tangan ketika bertemu (Lihat keterangan beliau ini dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah 1/48).
3. Adapun berjabat tangan setelah melakukan shalat-shalat wajib seperti nampak pada banyak sikap kaum muslimin di negara ini, hukumnya adalah kebid’ahan yang tidak ada dasarnya sama sekali. Di antara para ulama yang melarang perbuatan tersebut adalah al-’Izz bin ‘Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, Quthbuddin bin ‘Alauddin al-Makki al-Hanafi, al-Laknawi, dan al-Albani serta yang lain-lain (lihat nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Qaulul Mubin fi Akhtha-il Mushallin (hal. 294-296). Kecuali apabila terjadi pada dua orang yang belum pernah bertemu sebelumnya, maka di sini hukumnya sunnah sebab masuk dalam keumuman hadits al-Baraa’ yang kita bahas ini.
4. Mencium tangan seorang guru/ustadz ketika bertemu dengannya adalah diperbolehkan, berdasarkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi kebolehan tersebut harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- Tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum sendiri tidak sering melakukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi jika hal itu dilakukan untuk tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang guru.
- Perbuatan itu tidak menjadikan sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar di hadapan orang lain, seperti yang sering terjadi saat ini.
- Jangan sampai hal itu menjadikan kita meninggalkan sunnah yang lebih utama dan lebih dianjurkan ketika bertemu, yaitu berjabat tangan, sebagaimana keterangan di atas (Lihat Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah 1/302).
5. Orang yang berlawanan jenis yang bukan mahram tidak melakukan jabat tangan ketika bertemu maupun berpisah. Hal ini diharamkan dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjabat tangan dengan seorang wanita pun sebagaimana diriwayatkan imam Ahmad dalam al-Musnadnya dan al-Haakim dalam al-Mustadraknya dan sanadnya Hasan menurut syeikh al-Albani.
Semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.