Adakah Konsep Perbankan Secara Syariah?

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Pembahasan diarahkan pada:

– Kilas balik adakah konsep perbankan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sahabat?

– Pemaksaan istilah fikih muamalah untuk transaksi perbankan.

– Fikih muamalah = konsep perbankan?

Umat Islam dan Permasalahan Perbankan Syariah

Sudah dimaklumi bahwa bank konvensional ribawi berkembang bersama datangnya para kolonial. Kesamaan masa antara pendudukan kolonial dengan berdirinya bank-bank ini di masyarakat Islam membenarkan pendapat bahwa bank-bank tersebut dibangun dengan sengaja agar membantu penjajahan dengan menguasai perekonomiannya. Juga agar tertanam di hati masyarakat adanya ketidaksesuaian antara yang mereka yakini tentang pengharaman riba dengan realita yang mereka geluti yang tidak lepas dari riba. Demikian juga dibangun untuk menancapkan benih-benih keraguan tentang benar dan cocoknya syariat Islam di masa-masa kini.

Konsep pemikiran perbankan ini memang diimpor dari nonmuslimin. Ini bisa dibuktikan dengan membaca dan menelaah kitab-kitab fikih klasik, seperti kitab al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah, Raudhat ath-Thalibin karya Imam an-Nawawi dan kitab-kitab induk fikih lainnya. Jelas tidak didapatkan pembahasan mengenai perbankan atau bank dalam kitab-kitab tersebut. Akan tetapi kaum muslimin ketika melihat orang-orang nonmuslimin membangun perbankan dan perbankan tersebut mampu menunaikan pekerjaan dan khidmat untuk kebutuhan mendesak masyarakat umum. Maka mereka ingin memiliki yang seperti itu dan berusaha membuat alternatif yang sesuai syariat. Oleh karena itu diambillah konsep yang dibuat orang-orang nonmuslimin ini dan menjadikannya dalam bentuk Islam.

Fenomena bahaya riba yang telah menimpa umat manusia dewasa ini ditambah kebutuhan yang mendesak dari masyarakat Islam dan pemikiran merubah perbankan ribawi menjadi sesuai syariat. Akhirnya banyak orang yang berfikir untuk membangun bank-bank yang dibangun di atas sistem syariat Islam.

Mampukah Perubahan Tersebut Terealisasikan?

Merubah wajah perbankan menjadi sesuai syariat dengan tetap mempertahankan fungsi dari perbankan tersebut, tentu saja merupakan tantangann cukup berat. Bagaimana tidak? Di satu sisi harus menggantikan fungsi perbankan tersebut dan di sisi lain tidak boleh melanggar syariat.

Dari sini idealnya perbankan syariat harus mampu menunaikan hal-hal berikut ini:

  1. Bank syariah harus mampu menunaikan semua fungsi yang telah dilakukan bank-bank ribawi berupa pembiayaan (financing), memperlancar dan mempermudah urusan muamalah, menarik dana-dana tabungan masyarakat, kliring dan transfer, masalah moneter, dan sejenisnya dari praktek-praktek perbankan lainnya.
  2. Bank syariah harus komitmen dengan hukum-hukum syariat disertai kemampuan menunaikan tuntutan zaman dari sisi pengembangan ekonomi dalam semua aspeknya.
  3. Bank syariah harus komitmen dengan asas dan prinsip dasar ekonomi yang benar yang sesuai dengan ideologi dan kaidah syariat Islam dan jangan sekedar menggunakan dasar-dasar teori ekonomi umum keuangan yang tentunya dibangun di atas dasar muamalah ribawiyah.

Tiga perkara ini harus ditunaikan bank syariah agar dapat berjalan seiring perkembangan zaman dengan semua fenomena dan problem kontemporernya.

Mampukah Perbankan Syariah Menunaikan Tugas Ini?

Tentunya tergantung kepada para praktisi dan para pengawas syariatnya serta pemerintah untuk mengarahkan lembaga perbankan syariah memiliki karakter yang berbeda dengan perbankan konvensional. Suatu karakter yang dapat menunaikan tugas-tugas di atas.

Karakteristik Bank Syariah

Dari tugas di atas, lembaga keuangan syariah harus memiliki karakteristik yang membedakannya dari bank-bank ribawi, di antaranya adalah:

  1. Lembaga keuangan syariah harus bersih dari semua bentuk riba dan muamalah yang dilarang syariat. Ini menjadi jargon dan syiar utamanya. Tanpa ini satu lembaga keuangan tidak boleh dinamakan lembaga keuangan syariah. DR. Ghorib al-Gamal menyatakan: “Karakteristik bersih dari riba dalam muamalah perbankan syariah adalah karakteristik utamanya dan menjadikan keberadaannya seiring dengan tatanan yang benar untuk masyarakat Islami. (Lembaga keuangan syariah) harus mewarnai seluruh aktifitasnya dengan ruh yang kokoh dan motivasi akidah yang menjadikan para praktisinya selalu merasa bahwa aktivitas yang mereka geluti tidak sekedar aktivitas bertujuan merealisasikan keuntungan semata, namun perlu ditambahkan bahwa itu adalah salah satu cara berjihad dalam mengemban beban risalah dan persiapan menyelamatkan umat dari praktek-praktek yang menyelisihi norma dasar Islam. Di atas itu semua para praktisi hendaknya merasa bahwa aktivitasnya tersebut adalah ibadah dan ketakwaan yang akan mendapatkan pahala dari Allah bersama balasan materi duniawi yang didapatkan.” (Al-Mashorif Wa Buyut at-Tamwiel al-Islamiyah, DR. Gharib al-Jamal hal. 47)
  2. Mengarahkan segala kemampuan pada pertambahan (at-tanmiyah) dengan jalan its-titsmar (pengembangan modal) tidak dengan jalan hutang (al-qardh) yang memberi keuntungan. Lembaga keuangan syariah harus dapat mengelola hartanya dengan salah satu dari dua hal berikut yang telah diakui syariat:
  1. Investasi pengembangan modal langsung dan riil (al-its-titsmar al-mubaasyir) dalam pengertian bank melakukan sendiri pengelolaan harta perniagaan dalam proyek-proyek riil yang menguntungkan.
  2. Investasi modal dengan musyarakah dalam pengertian bank menanam saham dalam modal sektor riil yang menjadikan bank syariah tersebut sebagai syarik (sekutu) dalam kepemilikan proyek tersebut dan berperan dalam administrasi, manajemen, dan pengawasannya serta menjadi syarik juga dalam semua yang dihasilkan proyek tersebut baik berupa keuntungan atau kerugian dalam persentase yang telah disepakati di antara para syarik. Karena bank syariah dibangun di atas asas dan prinsip Islam, maka seluruh aktivitas mereka tunduk kepada standar halal dan haram yang telah ditentukan syariat Islam. Hal ini menuntut lembaga keuangan berbuat beberapa hal berikut:
  • Mengarahkan pengembangan modalnya (investment) dan memusatkannya pada lingkaran produk barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan umum kaum muslimin.
  • Menjaga jangan sampai produknya terjerumus dalam lingkaran haram.
  • Menjaga setiap tahapan-tahapan produknya tetap berada dalam lingkaran halal.
  • Menjaga setiap sebab produknya (sistem operasi dan sejenisnya) bersesuaian dalam lingkaran halal.
  • Memutuskan dasar kebutuhan masyarakat dan maslahat umum sebelum melihat kepada profit yang akan didapat individunya. (Kitab Mi’at Su`al wa Mi’at Jawaab Haula al-Bunuk al-Islamiyah hal. 45-46)
  1. Mengikat pengembangan ekonomi dengan pertumbuhan sosial. Lembaga keuangan syariah tidak hanya sekedar mengikat pengembangan ekonomi dan pertumbuhan sosial semata, namun harus menganggap pertumbuhan sosial masyarakat sebagai asas yang tidaklah pengembangan ekonomi memberikan hasilnya tanpa memperhatikan hal ini. Dengan demikian bank syariah harus menutupi dua sisi ini dan komitmen terhadap perbaikan masyarakat dan keadilannya. Tidak mengarah seperti bank ribawi yang mengarah kepada proyek-proyek yang memiliki prospek dan menjanjikan keuntungan yang lebih banyak tanpa memperhatikan perkara pertumbuhan sosial kemasyarakatan, karena hal itu adalah kekurangan yang memiliki akibat bahaya dalam masyarakat.
  2. Mengumpulkan harta nganggur dan menyerahkannya kepada aktivitas its-titsmaar dan pengelolaan dengan target pembiayaan (tamwiel) proyek-proyek perdagangan, industri, dan pertanian, karena kaum muslimin yang tidak ingin menyimpan hartanya di bank-bank ribawi berharap adanya bank syariah untuk menyimpan harta mereka di sana.
  3. Memudahkan sarana pembayaran dan memperlancar gerakan pertukaran perdagangan langsung (Harakah at-Tabaadul at-Tijaari al-Mubasyir) sedunia Islam dan bekerja sama dalam bidang tersebut dengan seluruh lembaga keuangan syariah dunia agar dapat menunaikan tugasnya dengan sesempurna mungkin.
  4. Menghidupkan tatanan zakat dengan membuat lembaga zakat dalam bank sendiri yang mengumpulkan hasil zakat bank tersebut. Lalu manajemen lembaga keuangan sendiri yang mengelola lembaga zakat tersebut. Karena lembaga keuangan syariah tunduk kepada pengelolaan harta untuk muamalah Islami dan hak-hak wajib pada harta-harta tersebut.
  5. Membangun baitulmal kaum muslimin dan mendirikan lembaga untuk itu yang dikelola langsung manajemennya oleh lembaga keuangan tersebut.
  6. Menanamkan kaidah adil dan kesamaan dalam keberuntungan dan kerugian dan menjauhkan unsur ihtikaar (penimbunan barang agar menaikkan harga) dan meratakan kemaslahatan pada sebanyak mungkin jumlah kaum muslimin setelah sebelumnya kemaslahatan tersebut hanya milik pemilik harta yang besar yang tidak peduli dari jalan mana mendapatkannya.

Demikianlah beberapa karakter perbankan syariah yang disampaikan sebagian ulama. Ini tentunya bisa menjadi tolok ukur evaluasi produk-produk perbankan syariah dan kegiatannya.

Sudah Syariatkah Perbankan Syariah di Negeri Ini?

Ungkapan syariat murni sudah sering kita dengar, namun benarkah klaim tersebut? Ataukah hanya sekedar istilah syariat yang digunakan? Semua ini menuntut kaum muslimin untuk mengetahui hakikat istilah tersebut agar jangan sampai tertipu dan terpedaya dengannya. Perlu diketahui ada kaidah dalam fikih muamalah bahwa yang terpenting dan dijadikan pedoman adalah hakikat sesuatu bukan istilah dan lafaznya.

Oleh karena itu kami mengajak para dewan pengawas syariah, praktisi perbankan syariah, dan masyarakat untuk mengetahui hakikat istilah-istilah tersebut dan membandingkannya dengan yang telah diaplikasikan perbankan syariah di negeri ini, agar semuanya berjalan dengan ilmu dan berhenti pun dengan ilmu.

Semoga bermanfaat.

Leave a Reply